28.2.10

Tingkat-tingkat Selawat


Tingkat selawat

1. Selawat daripada Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya terutama Nabi Muhammad s.a.w.
2. Selawat daripada malaikat kepada para nabi dan rasul.
3. Selawat manusia kepada Nabi Muhammad.



1. Selawat daripada Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya terutama Nabi Muhammad s.a.w.


Selawat ini bermakna Allah memberi rahmat kepada Rasulullah. Ini tidak pula bermakna bahawa Rasulullah itu lebih tinggi daripada Allah. Sebenarnya Allah memberi puji-pujian dan keutamaan kepada Rasulullah kerana baginda merupakan makhluk-Nya yang paling taat dan berakhlak mulia. Sepertilah seorang ibu memuji-muji dan terkenang-kenangkan anaknya yang begitu baik dan berbudi kepadanya. Di dalam ayat tadi, Allah memberitahu kita manusia bahawa Dia berselawat kepada Rasulullah supaya kita juga turut melakukannya. Allah juga ada memuji-muji nabi-nabi yang lain serta orang-orang yang soleh yang terdahulu daripada Nabi Muhammad di dalam [[ Al-quran]]. Allah sebenarnya mahu mengajar kita supaya memuja dan memuji orang-orang yang taat kepada-Nya, lebih daripada tokoh-tokoh negara atau personaliti-personaliti glamor yang banyak melanggar perintah-Nya.


2. Selawat daripada malaikat kepada para nabi dan rasul.


Para malaikat merupakan makhluk Allah yang sangat taat. Mereka selalu berselawat kepada para nabi dan rasul. Walaupun malaikat adalah makhluk yang suci yang diciptakan daripada cahaya, namun darjat para nabi dan rasul adalah lebih tinggi daripada mereka. Mengapa? Kerana malaikat sememangnya diciptakan tanpa nafsu (yang sering mengajak manusia melakukan kejahatan dan kemungkaran), oleh itu adalah mudah untuk mereka melakukan ketaatan yang sepenuhnya kepada Allah. Tetapi manusia diciptakan dengan nafsu. Bermakna, manusia yang boleh menundukkan nafsunya untuk melakukan taat kepada Allah adalah lebih hebat dari keseluruhan para malaikat.


3. Selawat manusia kepada Nabi Muhammad.


Selawat kita umat Muhammad kepada nabi kita merupakan permohonan kita kepada Allah supaya memberikan keutamaan dan kemuliaan kepada baginda. Dengan berselawat, kita juga mengakui kerasulannya dan mengakui kebenaran ajaran yang dibawa oleh baginda. Sebenarnya Nabi Muhammad tidak memerlukan selawat-selawat daripada kita yang memohon Allah memberi keutamaan dan kemuliaan kepada baginda. Beliau sudahpun disebut sebagai manusia dan rasul yang paling utama. Tetapi dengan berselawat, kitalah yang akan mendapat manfaatnya. Kita akan mendapat pahala dan keberkatan serta dapat mendekatkan hati kita kepada baginda.


Mengenal Allah



Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.

Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?

Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.

Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.

Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?

Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.

Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.

Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.

Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)

Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)

Mengenal Wujud Allah.

Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.

Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)

Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)

Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.

Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)

Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?

Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:

“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )

Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:

“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)

Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)

Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.

Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.

Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.

Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.

Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:
“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)

Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)

Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )

Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.

Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”

Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:

“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)

“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)

Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)

Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)

“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)

27.2.10

Mengenal Allah II

Seiring dengan perjalanan waktu, Islam menyatakan diri sebagai agama tauhid sebanyak lima kali sehari dalam panggilan shalat atau adzan. Bukanlah sebuah kebetulan apabila iqamat shalat diawali dengan kalimat Allahu Akbar. Ikrar ini adalah titik tolak akidah tauhid. Gambaran awal inilah yang harus mengisi akal mereka yang mentauhidkan Allah. Adzan tidak membatasi seberapa besar keagungan Allah.

Ia juga tidak menyebutkan bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu. Adzan adalah kalimat mutlak dan komprehensif yang tidak ada sesuatu pun mampu menentangnya. Tidak ada sesuatu pun yang lebih besar dari-Nya dan tidak ada sesuatu pun yang berdiri di hadapan-Nya. Allah Mahabesar atas segenap mahluk:

“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”(Qs,Al A’raaf(7):54).

Allah Maha besar atas alam semesta yang kasat-mata maupun ghaib.

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs39:67)

Allah lebih besar dari kezaliman orang-orang zalim, lebih besar dari rahmat orang-orang yang memberi rahmat, dan lebih besar dari berbagai kesalahan kita. Lalu kita pun bertaubat kepada-Nya:

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Qs 39:53)

Allah Mahabesar atas berbagai mukjizat para nabi, isyarat para malaikat, dan makna semua kitab samawi. Para malaikat dan nabi hanyalah hamba-hamba Allah. Hakikat Allah lebih besar atas segenap penunjukkan huruf-huruf dan isyarat para hamba-Nya Allah Mahabesar atas segala sesuatu. Dia ada diatas segala sesuatu bersama segala sesuatu, dan tempat kembali segala sesuatu. Dia tidak menyerupai segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun menyerupai-Nya.

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”(Qs42:11)

Akidah Islam acapkali menegaskan bahwa tidak ada sesuatu yang menyerupai Allah. Bagaimana mungkin akal manusia sanggup mengenal dan mengetahui Tuhan yang tidak serupa dengan sesuatu apapun? Pada awalnya, pengetahuan ini tampak mustahil, dan kemustahilan ini semakin tampak pada seluruh mahluk.

Imam al-Junayd al-Baghdadi mengatakan, “Tidak ada yang mengetahui Allah selaian Allah sendiri.” Yang dimaksud al-Junayd adalah pengetahuan sempurna dan hakiki sesuai dengan kebesaran dan kekuasaan-Nya. Pengetahuan sempurna dan hakiki hanya dimiliki oleh Allah saja. Imam Ghazali pernah mengatakan, “Segala sesuatu yang terbersit dalam angan-angan, tergambar dalam fikiran, dan terbayang dalam akal anda — semuanya itu bukanlah Allah.” Jika anda bertanya, ‘Lalu, apa puncak makrifat kaum arif?’ Kami katakan, ‘Puncak makrifat kaum arif adalah ketidakmampuan mereka mencapai makrifat itu sendiri.” Mustahil bagi mereka untuk dapat mengetahui Allah dengan sebenar-benarnya’.”

Dalam sebuah doanya, Rasulullah saw. mengisyarakatkan pengertian ketidakmampuan itu, “Ya Allah, kami tidak sanggup untuk memuji-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.” Beliau tidak bermaksud mengatakan bahwa kalbu beliau mengetahui apa yang tidak sanggup diungkapkan dengan kata-kata, sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Sebagai seorang hamba Allah yang paling mulia dan paling mengenal-Nya, beliau hanya bermaksud untuk mengatakan bahwa beliau tidak mampu menguasai keagungan dan kebesaran-Nya. Hanya Allah saja yang menguasai semuanya itu. Dengarlah ungkapan bait syair berikut:

Tidak ada yang mengetahui Allah selain Allah sendiri
Karena itu berhati-hatilah
Ada dua macam agama; keimanan dan kemusrykan.
Ada batas-batas yang tidak bisa dilampaui akal
Ketidakmampuan mencapai pengetahuan
adalah juga sebentuk pengetahuan itu sendiri.

Apabila kita sudah sepakat bahwa pengetahuan hakiki hanya dimiliki oleh Allah dan mustahil dimiliki mahluk, lantas jenis pengetahuan apa yang dimiliki oleh manusia ini? Seperti apa perbedaan struktur dan hierarki para malaikat, nabi, ulama, dan syuhada dalam hal ini?

Yang ada hanyalah pengetahuan yang serva relatif yakni pengetahuan tentang namap-nama-Nya dan pengetahuan tentang berbagai keajaiban ciptaan-Nya di alam semesta berikut segala rahasianya. Ada dua jalan menuju makrifat. Yang pertama adalah jalan hakiki yang hanya dimiliki oleh Allah saja dan tertutup bagi manusia. Yang kedua jalan relatif yang terbuka bagi manusia dan bergantung pada tingkatannya masing-masing. Orang yang menyadari bahwa Allah Mahakuasa dan Maha Mengetahui tidaklah sama dengan orang yang mengetahui berbagai keajaiban dan tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi dengan mata kepalanya sendiri.

Demikian pula, orang yang menyadari bahwa Allah adalah Maha Pencipta dan Maha Pembentuk tidaklah sama dengan orang yang melihat dan menelaah segenap ciptaan-Nya dan detail keajaiban-keajaiban-Nya. Perumpamaan yang tertinggi hanya ada di sisi Allah.

Imam asy-Syafi’i memiliki banyak guru dan murid. Ia juga mempunyai penjaga pintu rumahnya. Mereka semua mengetahui dan mengenal Imam asy-Syafi’i. Pengetahuan mereka berbeda-beda sesuai dengan kadar ilmu masing-masing. Pengetahuan penjaga pintu rumahnya tentang beliau hanyalah sebatas bahwa Imam asy-Syafi’i adalah seorang ulama fiqih. Murid-murid mempelajari ijtihad-ijtihadnya dalam bidang fiqih dan hukum-hukum Islam. Guru-gurunya mengetahui kemampuan intelektual dan pola pikirnya. Demikianlah perbedaan pengetahuan mereka tentang Imam asy-Syafi’i.

Sebagaimana sidik jari, akal, dan naluri manusia berbeda, berbedalah pula kadar pengetahuannya tentang Allah. Kadar pengetahuannya berbanding lurus dan sesuai jarak yang dapat dijangkau oleh bahtera hati di samudra pengetahuan Ilahi. Kadar pengetahuan Nabi saw, berbeda dengan pengetahuan sebagian besar manusia. Begitu pula, kadar pengetahuan Nabi Musa as, berbeda dengan pengetahuan Fir’aun. Benarlah ucapan orang yang mengatakan, “Tidak ada yang mengetahui Allah selain Allah sendiri.” Benar juga ucapan orang yang mengatakan,“Pengetahuan manusia tentang Allah merupakan pengalaman pribadi. Setiap orang mempunyai kadar pengetahuan yang berbeda-beda.”

Semuanya itu benar. Yang lebih benar lagi adalah bahwa Allah mempunyai kedudukan tinggi dengan segenap kebesaran-Nya. Dia terhijab oleh segenap cahaya rahmat-Nya. Allah adalah tujuan yang tidak mungkin dapat diindera dan Zat yang tidak mungkin dapat diawasi dan diamati. Meskipun demikian, perjalanan menuju Allah adalah sasaran dan tujuan dari keberadaan manusia.

Allah berfirman dalam AlQuran:

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.(Qs,84:6)

Akal, Wahyu dan Jalan Mengenal Tuhan

Pengenalan dan pengetahuan akan keberadaan Tuhan merupakan hal yang asasi dan prinsip bagi manusia yang beragama, meskipun nantinya konsep tentang Tuhan berbeda sesuai dengan doktrin-doktrin suci agama dan penafsiran aliran kepercayaan masing-masing. Tapi pada intinya, semua agama dan aliran kepercayaan tersebut menegaskan dan membenarkan wujud suci dan agung Tuhan.

Jika kita ingin mengindentifikasi metode-metode pencapaian makrifat kepada Tuhan oleh setiap orang, maka bisa kita katakan bahwa setiap orang memiliki metode dan cara tersendiri dalam meraih makrifat tersebut. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa jalan-jalan menuju Tuhan sebanyak jiwa-jiwa makhluk yang ada di alam ini. Tetapi apabila kita ingin meninjau sisi yang sama dari jalan-jalan makrifat kepada Tuhan tersebut, maka terdapat beberapa pendekatan universal yang dapat mencakup semua manusia.

Di bawah ini terdapat beberapa metode dalam pencapaian makrifat kepada Tuhan, antara lain:

a. Metode Argumentasi

Cara ini dapat ditempuh dan dijalani oleh setiap orang yang memiliki akal sehat, sebab cara ini menggunakan premis-premis dan prinsip-prinsip rasionalitas dalam menetapkan eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan Tuhan. Namun dalam metode ini juga terdapat tingkatan-tingkan argumentasi dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit dan filosofis (dengan argumentasi filsafat).

b. Metode Syuhudi

Cara ini, jika ditinjau dari segi epistemologi memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari metode argumentasi di atas, sebab dalam syuhudi manusia mengenal Tuhan dengan ilmu huduri, sedangkan pada metode pertama dengan ilmu husuli. Cara ini dijalani dengan pembersihan dan pensucian nafs (jiwa) lewat pendisiplinan diri pada tingkatan-tingkatan spiritual hingga mencapai maqam “penyaksian” Tuhan dan dengan pandangan batin memandang sifat jalal dan jamal-Nya.

c. Metode Kontemplasi

Manusia dalam perjalanan hidupnya senantiasa dipenuhi dengan rasa ingin tahu terhadap apa yang dihadapannya, sebab itu apa saja yang disaksikannya senantiasa memotivasinya untuk mengenal dan mengetahuinya lebih jauh dan lebih dalam. Dan dengan berpikir terhadap fenomena-fenomena alam yang disaksikannya serta hubungan satu sama lainnya bisa mengantarkannya pada penemuan akan keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, iradah, hikmah dan kekuasaan. Jalan ini bersandar pada pengamatan dan penyaksian alam natural, sebab itu disebut jalan perenungan dan observasi. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya jalan ini tidak dapat dicapai tanpa menggunakan prinsip-prinsip akal.

d. Metode Akal

Jalan ini menggunakan premis-premis akal dan logika serta metode-metode argumentasi yang murni bersandar pada kaidah akal dalam pembuktikan keberadaan Tuhan dan menetapkan sifat-sifat khusus yang layak bagiNya, seperti hidup, ilmu, hikmah, iradah, dan kuasa, serta membersihkan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak, seperti bermateri, beranak dan terbatas .

e. Metode Fitrah

Berbeda dari dua jalan sebelumnya, jalan ini tidak dengan akal dan juga tidak dengan kontemplasi alam tabiat. Manusia dengan hanya merujuk pada kedalaman batinnya, dia akan menemukan dan memperoleh makrifat Tuhan. Dengan metode fitrah dan jalan mukasyafah irfani serta jalan musyahadah kalbu termasuk dalam katagori jalan ini dalam menemukan Tuhan dan sifat jalal dan jamal-Nya. Jalan ini hanya terbuka bagi hati-hati yang bersih yang tidak dipenuhi dengan hawa nafsu, cinta materi dan duniawi.

Selain dari kedua pembagian jalan makrifat pada Tuhan tersebut di atas, juga ada pembagian lain sebagai berikut :

a. Metode Umum

Jalan ini adalah yang ditempuh oleh kebanyakan manusia, dan keyakinan yang dihasilkan tidak begitu dalam dan sempurna, tetapi cukup untuk dikatakan sebagai manusia beragama yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Jalan ini tidak dengan pemikiran yang dalam, tetapi dengan pemikiran sederhana yang didukung oleh fitrah yang sehat.

b. Metode Khusus

Orang-orang yang sanggup menjangkau pemikiran-pemikiran argumentatif (burhan) dan sampai pada keyakinan yang tidak lagi tergoyahkan secara argumentasi.

c. Metode Lebih Khusus

Jalan ini tersedia bagi hati-hati yang bersih dan fitrah yang tidak dinodai oleh hawa nafsu dan cinta materi. Para penapak jalan ini mensucikan batinya sesuci-sucinya sehingga cermin hatinya dapat memantulkan cahaya kebenaran secara hakiki. Dia akan mendapatkan wajah Tuhan dalam bentuk aslinya, jauh dari pengaruh kesesatan ilusi dan imajinasi pikiran.

e. Metode Terkhusus

Orang-orang yang memadukan jalan argumentatif dengan pensucian batin lewat menapaki tangga-tangga spiritual sehingga sampai pada maqam syuhud dan fana fi Allah. Kelebihan jalan ini dibanding jalan ketiga adalah orang yang berhasil pada jalan ini selain menggapai maqam jalan ketiga, ia juga mampu menguraikan makrifatnya dalam bentuk argumentasi akal, sehingga ia mampu membimbing akal-akal pencari kebenaran dan kesempurnaan sampai pada pemahaman yang hakiki. Jalan inilah yang ditempuh oleh orang-orang seperti; Ibnu Arabi, Mulla Sadra, Imam Khomeini, dan Allamah Thaba-thabai.

f. Metode Para Nabi Dan Rasul

Jalan ini adalah jalan yang paling sempurna dan istimewa dan hanya diperuntukkan bagi manusia-manusia pilihan Allah Swt. Jalan ini meskipun dalam tinjauan teoritis terbuka bagi semua manusia, tetapi karena disertai dengan risalah dan wahyu serta tugas tertentu dari Tuhan, maka secara riil hanya mempunyai jumlah yang terbatas; seperti Tuhan hanya mengutus pada umat manusia sebanyak 25 Nabi dan Rasul, dan mengutus Nabi-nabi sebanyak 124.000 untuk seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, jalan dan cara ini meskipun bukan jalan argumen filosofis atau jalan penapak spiritual, akan tetapi cara dan jalan ini tentu tidak bertentangan dengan akal para filosof serta mukasyafah para pesuluk, bahkan ia malah menjadi tolok ukur kebenaran kedua jalan tersebut serta penerang yang tak padam bagi keduanya. Sebagaimana akan kami jelaskan nantinya kedudukan wahyu terhadap akal.

Definisi dan Tujuan Agama

Dalam bahasa Arab, secara leksikal, agama disebut dengan al-diin yang berarti ajaran, penyerahan, balasan dan ketaatan. Adapun arti al-diin secara gramatikal bisa didefenisikan sebagai berikut, “Al-Din atau agama adalah seluruh rangkaian ilmu, makrifat dan pengetahuan suci yang secara teoritis maupun praktis”, yakni seluruh tinjauan dan pandangan terhadap pengamalan-pengamalan yang mengandung muatan suci.[1] Tentu defenisi ini bersifat luas dan tidak terbatas pada satu agama, sebab seluruh agama mempunyai konsepsi-konsepsi dan praktek-praktek yang dipandang suci oleh para penganutnya. Adapun mengenai kebenaran ajaran suatu agama, hal tersebut menjadi model dalam pembahasan sistem keyakinan dan kepercayaan secara teoritis dan praktis, dimana akal dapat menguji sejauh mana kebenaran serta kesesuaian agama itu dengan hakikat realitas. Misalnya pandangan Islam tentang Tuhan berbeda dengan Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Tao, Kongfucu dan agama-agama lainnya. Manakah diantara agama-agama tersebut yang mempunyai pandangan dan keyakinan tentang Tuhan yang dapat dibuktikan kebenarannya dan bersesuaian dengan akal dan realitas hakiki?

Jika defenisi tersebut di atas dihubungkan dengan Islam maka agama berarti seluruh makrifat yang berkaitan dengan Tuhan yang terdapat dalam teks-teks suci al-Quran dan sunnah nabi.

Agama dapat juga didefenisikan sebagai berikut, “Al-Diin yang berarti ketaatan mutlak dan balasan yang dijabarkan dalam bentuk keyakinan, akhlak, hukum-hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan individu dan masyarakat. Agama-agama langit adalah agama-agama yang berasal dari sisi Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi-nabi as, sebab itu masalah dan persoalan agama ditetapkan berdasarkan wahyu dan berita-berita yang diterima secara yakin. Makna leksikal al-diin adalah kepatuhan, ketaatan, penyerahan dan balasan. Dan makna istilahnya adalah keseluruhan keyakinan, akhlak, undang-undang dan aturan-aturan yang bertujuan mengatur urusan-urusan manusia dan membimbing mereka. Tidak semua ajaran itu seluruhnya benar dan dan juga sebaliknya, dan terkadang dalam beberapa ajaran bercampur antara benar dan batil. Jika keseluruhan ajarannya adalah benar maka disebut agama yang benar, dan begitu pula sebaliknya disebut agama yang batil atau percampuran antara benar dan batil.[2]

Tujuan Agama

Secara global agama dipandang sebagai jalan dan petunjuk menuju kebahagiaan dan kesempurnaan. Dalam hal ini, kita tidak berbicara tentang agama-agama secara umum, kita hanya berbicara berkaitan dengan agama Islam. Kita meyakini secara argumentatif bahwa hanya agama Islam yang secara utuh memiliki kebenaran, baik secara teoritis maupun praktis.

Kitab-kitab suci yang diturunkan Tuhan beserta Rasul dan Nabi-Nya, semuanya mengajak manusia menyembah Tuhan dan mengesakan-Nya, berbuat baik kepada manusia dan menegakkan keadilan. Jelaslah agama dalam hal ini merupakan hidayah Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan Tuhan juga memberi petunjuk pada manusia dalam rangka menyampaikan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan kesempurnaan di akhirat. Yakni tujuan agama dalam konteks ini adalah memberi hidayah dan petunjuk kepada manusia, mengaktualkan potensi manusia dan mengangkat manusia ke maqam kedekatan Tuhan.

Hakikat agama adalah kebahagiaan, kedamaian dan kemenangan seluruh umat manusia. Agama adalah jalan mencapai puncak tujuan penciptaan dan puncak kesempurnaan manusia. Agama bertujuan mengangkat manusia dari alam materi yang rendah menuju ke alam malakuti yang tinggi. Agama berkeinginan membantu manusia menyelesaikan berbagai problematika di dunia ini. Agama ingin menghilangkan ketakutan manusia kepada kematian dengan memberikan harapan kepada kehidupan abadi. Agama ingin mendekatkan manusia kepada Tuhan Penciptanya Yang Esa.

Agama dan Fitrah Manusia

Sebelumnya telah dijelaskan pengertian dari al-diin (agama) baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya yang perlu dijelaskan adalah makna dan pengertian fitrah manusia.

Kata fitrah secara leksikal bermakna watak ciptaan suatu maujud, namun dalam istilahnya mempunyai pengertian yang bermacam-macam. Dan yang kita maksudkan dari pada fitrah disini adalah sisi-sisi universal yang terdapat pada manusia dan mendasari sifat dan kecenderungan hakiki manusia dalam menerima agama dan penyembahan kepada Tuhan.

Adapun mengenai fitrah manusia kepada Tuhan dan agama terdapat tiga pandangan:

1. Membenarkan keberadaan Tuhan merupakan pengetahuan yang bersifat fitrah manusia. Fitrah dalam pengertian ini adalah fitrah akal yang berhubungan dengan sistim pengenalan dan pengetahuan manusia.

2. Manusia secara hudhuri dan syuhudi memiliki pengetahuan kepada Tuhan, dan manusia - berdasarkan potensinya masing-masing - mendapatkan pengetahuan hudhuri dari Tuhan tanpa perantara.

3. Fitrah manusia kepada Tuhan adalah kecenderungan alami dan esensi yang terdapat dalam diri manusia, yakni kecenderungan dan keinginan kepada Tuhan merupakan hakikat penciptaan manusia.

Syahid Murtadha Muthahari dalam mengomentari pandangan pertama berkata, “Sebagian orang yang berpandangan tentang kefitrahan pengetahuan kepada Tuhan yang mereka maksud dalam hal ini adalah fitrah akal. Mereka berkata bahwa manusia berdasarkan hukum akal yang bersifat fitrah tersebut tidak membutuhkan premis-premis argumentasi dalam menegaskan wujud Tuhan. Dengan memperhatikan tatanan eksistensi dan keteraturan segala sesuatu, maka otomatis dan tanpa membutuhkan argumen, manusia mendapatkan keyakinan tentang keberadaan Sang Pengatur dan Sang Perkasa.”[3]

Pandangan kedua tentang fitrah adalah manusia secara fitrah mempunyai pengetahuan hudhuri kepada Tuhan, bukan dengan ilmu hushuli yang diperoleh lewat argumentasi akal. Yakni manusia mempunyai hubungan yang dalam dan hakiki dengan Penciptanya, dan ketika manusia memandang ke dalam dirinya, dia akan menemukan hubungan tersebut. Karena kebanyakan manusia sibuk dengan kehidupan materi, maka dia tidak mendapatkan hubungan dengan Penciptanya. Tapi manusia pada saat memutuskan hubungannya dengan kesibukan-kesibukan kehidupan dunia, atau saat manusia kehilangan harapan dari sebab-sebab materi, barulah manusia merasakan hubungan tersebut yang terdapat dalam dirinya.

Fitrah dalam pandangan ketiga juga bukan fitrah akal atau pengetahuan hushuli yang sederhana, tetapi yang dimaksud adalah fitrah qalbu. Syahid Muthahari berkata, “Fitrah qalbu adalah manusia secara khusus diciptakan berkecenderungan dan berkeinginan kepada Tuhan. Dalam diri manusia telah diletakkan suatu bentuk instink pencarian Tuhan, kecenderungan kepada Tuhan, cinta dan penyembahan kepada Tuhan, sebagaimana instink kerinduan kepada ibu dalam watak seorang anak.[4]

Anak-anak yang baru dilahirkan meskipun belum memahami makna kesadaran riil tetapi terdapat dalam dirinya apa yang tidak disadarinya berupa kecenderungan kepada ibu dan kerinduan padanya. Dalam wujud manusia terdapat kecenderungan seperti ini, suatu kecenderungan agung dan tinggi, yakni kecenderungan penyembahan dan kecenderungan kepada Tuhan. Kecenderungan inilah yang membawa manusia ingin berhubungan dengan suatu hakikat yang tinggi dan ingin dekat kepada hakikat tersebut serta mensucikannya. Fitrah manusia yang telah diciptakan Tuhan dan diletakkan pada diri manusia dalam bentuk tabiat penciptaan, dengan tabiat tersebut manusia menerima agama dan menyembah dan menyintai Tuhan.

Agama dan Akal

Salah satu hal penting yang menyibukkan pikiran dan menjadi wacana penting dikalangan para filosof dan teolog disepanjang sejarah adalah hubungan akal dan wahyu atau agama dan filsafat.Uuntuk lebih jelasnya pembahasan ini sebaiknya terlebih dahulu kita jelaskan makna dan pengertian akal dan wahyu.

Pengertian Akal

Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, dan ketika akal dihubungkan dengan manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman dan tadabbur. Jadi akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.

Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:

1. Akal instink: Akal manusia di awal penciptaannya, yakni akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumen;[5]

2. Akal teoritis: Akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ilmu ontology), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan akhlak).

3. Akal praktis: Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah dicerapnya .

4. Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.[6]

5. Juga akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.[7]

6. Akal substansi: sesuatu yang non materi dimana memiliki zat dan perbuatan.

Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan agama dan akal disini adalah akal yang berfungsi dalam argumentasi dan burhan dimana didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga nantinya dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama.

Pengertian wahyu

Wahyu merupakan kata yang tak dapat dipisahkan dari agama-agama langit, sebab wahyu Tuhan merupakan dasar dan prinsip yang membentuk suatu agama samawi.

Ragib Isfahani dalam menjelaskan pengertian wahyu secara literal berkata, “Akar kata wahyu bermakna isyarat cepat, oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilakukan dengan cepat disebut wahyu. Dan ini bisa berbentuk ucapan bersandi dan berkinayah, atau tidak dalam bentuk kata-kata tapi berbentuk isyarat dari bagian anggota-anggota badan atau dalam bentuk tulisan.”[8]

Adapun wahyu menurut istilah adalah terbentuknya hubungan spiritual dan gaib pada setiap Nabi ketika mendapatkan pesan-pesan suci dari “langit”.[9]

Wahyu bukanlah sejenis ilmu hushuli yang didapatkan lewat mengkonsepsi alam luar dengan panca indera dan akal pikiran, tetapi wahyu adalah sejenis ilmu hudhuri, bahkan wahyu merupakan tingkatan ilmu huduri yang paling tinggi. Wahyu adalah penyaksian hakikat dimana hakikat tersebut merupakan pilar dan hubungan hakiki eksistensi manusia, manusia dengan ilmu hudhuri mendapatkan hubungan eksistensi dirinya dengan Tuhan dan kalam Tuhan, sebagaimana manusia mendapatkan dirinya sendiri.[[10]

Batasan Akal dan Wahyu

Tak dapat diragukan dan dipungkiri bahwa akal memiliki kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif. Para filosof Islam dalam hal ini juga berusaha menjelaskan batasan antara akal dan syariat (hukum-hukum agama). Al-Kindi (lahir 185 H), filosof Islam pertama yang mendalami filsafat dan terlibat dalam penerjemahan karya-karya filsafat adalah tokoh yang sangat memperhatikan masalah tersebut. Dia berupaya menerangkan kesesuaian akal dan wahyu, antara filsafat dan syariat. Menurut keyakinan dia, jika filsafat adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat realitas sesuatu, maka mengingkari filsafat identik mengingkari hakikat sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat. Dan jika terdapat kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan filsafat, maka cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta’wil terhadap teks-teks suci agama. Metode ini dilanjutkan dan diteruskan oleh Al-Farabi.

Al-Farabi juga berpandangan bahwa agama dan filsafat sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah akal fa’âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif. Perlu kita ketahui, dikalangan filosof Islam akal aktif tersebut ditafsirkan sebagai malaikat Jibril as atau ruhul qudus dalam agama Islam.

Ibnu Sina membagi dua filsafat yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina berkata, ” … maka filsafat praktis dibagi menjadi (al-hikmah al –amaliyyah) yaitu pengaturan negara (al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan akhlak dan etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap undang-undang dan rincian pengamalannya.”[11]

Sebagaimana kita saksikan dalam perkataan Ibnu Sina tersebut bahwa dia memandang sumber dan dasar pembagian-pembagian filsafat praktis berpijak pada syariat Tuhan dan dia juga memandang bahwa batas-batas kesempurnaan pembagian tersebut ditentukan oleh syariat.

Pandangan-pandangan para filosof Islam tersebut menjelaskan tentang wilayah dan batasan akal terhadap wahyu, dimana akal menentukan dan mendefenisikan hal-hal universal yang berhubungan dengan pandangan dunia agama, dan adapun hal-hal yang bersifat terperinci dan pengamalannya ditentukan oleh agama itu sendiri. Tujuan agama dan kemestian manusia untuk beragama serta penentuan agama yang benar dibebankan pada kemampuan akal. Akal tidak memahami masalah-masalah seperti dari mana manusia datang, tujuan hakiki kehadiran dia, cara dia berterima kasih kepada Pencipta, kemana manusia setelah meninggal, dan bagaimana bertemu Tuhannya, tetapi akal manusia memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh agama (dalam pengertian khusus) dan bukan tanggung jawab serta diluar kemampuan akal pikiran manusia.

Oleh karena itu, secara umum manusia menyaksikan bahwa masalah-masalah tersebut merupakan batasan dan wilayah agama, dan hanya agama yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Secara rinci, akal tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian, untuk memperoleh jawaban secara mendetail dan terperinci dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ada cara lain selain merujuk kepada agama dan syariat suci Tuhan.

Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya.

Kesesuaian Akal dan Wahyu (Agama)

Jika kita berbicara tentang segala ciptaan Tuhan, maka akal dan wahyu juga merupakan dua realitas ciptaan Tuhan.

Tuhan mengutus Nabi-nabi disertai wahyu dan agama untuk memberi hidayah umat manusia. Dan Tuhan pun yang menciptakan akal manusia. Akal adalah salah satu fenomena diantara fenomena-fenomena alam yang ada. Tuhan adalah Pencipta akal dan Tuhan juga merupakan sumber syariat dan agama (wahyu). Jadi akal dan wahyu berasal dari Tuhan dan berujung pada satu hakikat yang tinggi dan suci.

Dalam teologi Islam ada konsep “kebaikan dan keburukan dalam timbangan akal” (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan menilai berbagai perbuatan dan tindakan, serta menghukumi baik dan buruknya atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik Seperti keadilan, kejujuran, balas budi, menolong orang-orang yang dalam kesulitan dan kemiskinan, dan juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dan merampas hak dan milik orang lain. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran dan kebohongan. Dalam hal ini juga syariat Tuhan menegaskan dan memberi hidayah manusia supaya tidak mengingkari keputusan akal. Oleh sebab itu, jika husn wa qubh al-aql ini dinafikan, maka syariat tidak dapat ditetapkan. Nasiruddin Thusi berkata, “Baik dan buruk dalam mizan akal (husn wa qubh al-aql) secara mutlak tertegaskan, karena keduanya berkaitan erat dalam keberadaan dan keabsahan syariat”.[12] Artinya jika akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan, maka syariat juga tak dapat ditetapkan, karena bohong misalnya jika menurut akal hal iut tidaklah buruk, maka manusia tidak bisa menilai perkataan jujur para Nabi-nabi as adalah baik. Manusia juga tak dapat mengetahui bahwa para Nabi dan Rasul as pasti tidak bohong. Jika manusia mengetahui dari syariat bahwa para nabi pasti berkata jujur dan kejujuran adalah sifat yang mulia, maka muncul masalah bahwa syariat yang belum diketahui apakah hasil dari perkataan jujur atau bohong, sehingga dipercayai kejujuran dan kebenarannya. Yang pasti jika baik dan buruk dalam pandangan akal dinafikan, maka sangat banyak hal dan masalah yang dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya, hatta syariat itu sendiri.

Dari tinjauan tersebut di atas, tidak bisa dikatakan bahwa akal dan syariat di alam realitas saling berlawanan dan kontradiksi. Para ulama ushul fiqih mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah (dua belas imam) memiliki konsep dan pandangan dalam bentuk sebagai berikut: Tuhan adalah pencipta akal dan “pemimpin” masyarakat berakal serta Tuhan pulalah yang menganugrahkan wahyu dan agama untuk manusia, maka tak mungkin wahyu dan agama tak sesuai dengan akal, dan jika tak ada kesesuaian maka akan terjadi inner kontradiksi dalam ilmu Tuhan. Oleh karena itu, kita meyakini bahwa tidak terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu, dan antara rasionalitas dan agama.

Diakhir pembahasan ini, kami akan menyajikan pandangan Mulla Sadra, salah seorang filosof besar Islam dan pendiri hikmah muta’aliyah, dimana Filsafatnya mencerminkan pengaruh timbal balik akal dan wahyu. Dia berusaha semaksimal mungkin membangun filsafatnya dari kekuatan akal dan kesucian wahyu.

Jika kita tinjau hubungan antara muatan wahyu dan proposisi akal, maka hubungan tersebut bisa dibagi menjadi tiga bagian:

1. Muatan wahyu sesuai dengan akal;

2. Muatan wahyu lebih tinggi dari akal;

3. Muatan wahyu kontradiksi dengan akal.

Menurut keyakinan Mulla Sadra, wahyu hakiki dan pesan hakiki Tuhan tidak kontradiksi dengan proposisi akal (bagian ketiga). Dalam tinjauan tersebut, dia berkata, “Maka kami bawakan dalil kuat yang berkaitan dengan topik ini, sehingga diketahui bahwa syariat dan akal memiliki kesesuaian sebagaimana dalam hikmah-hikmah lainnya, dan mustahil syariat Tuhan yang benar dan hukum-hukum-Nya berbenturan dan bertentangan dengan makrifat-makrifat akal dan argumentasi rasional, dan binasa bagi filsafat yang teori-teorinya tak sesuai dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya”.[13] Menurut Mulla Sadra, hukum-hukum agama yang penuh dengan cahaya suci Tuhan mustahil bertentangan dan bertolak belakang dengan pengetahuan-pengetahuan universal akal, filsafat yang benar tak mungkin teori-teorinya bertentangan dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya. Dia berkeyakinan bahwa filsafat yang benar dan hakiki adalah filsafat yang memiliki korelasi dengan wahyu suci Tuhan. Secara prinsipil, para filosof yang perkataannya menyalahi agama bukanlah filosof hakiki. Dia berkata, “Dan barang siapa yang agamanya bukan agama yang dianut oleh para Nabi as, maka pada dasarnya dia tidak mendapatkan sedikitpun bagian dari hikmah (filsafat hakiki)”.[14] Artinya, para filosof yang agamanya bukan agama para Nabi as, maka dia tidak mengambil manfaat sama sekali dari filsafat.

Dari perkataan Mulla Sadra di atas, dapat disimpulkan bahwa dia berusaha - dengan pandangan-pandangan argumentatif - membela gagasan kebersesuaian akal dan wahyu, filsafat dan syariat, dan menolak adanya kontradiksi diantara keduanya. ]


[1] . Reza shadeqi, Dar omad-e bar Kalâm-e Jadid, hal.28.

[2] . Ayatullah Jawadi Amuli, Syari’at Dar Ayeneh-e Ma’rifat, hal. 111.

[3] . Murtadha Muthahhari, Majmu’e âtsar, jilid 6, hal.934.

[4] . Murtadha Muthahhari, Majmu’e âtsar, jilid 6, hal.934.

[5] . Dr. Sajjadi, Farhang-e Ulum Falsafah wa Kalam, hal.496.

[6] . Khusro panoh, Kalam-e Jadid hal.64.

[7] . Ibid hal.64.

[8] . Isfahani, Mufradat al-fâz al-Quran, hal.858.

[9] . Sayyid Mahdi, Darsnomeye ulumul Quran, hal.61.

[10] . Ayatullah Jawadi Amuli, Din Syenosi, hal.241.

[11] .Ibnu Sina, Rasaail fi al-hikmah wa al-tabi’iyyaah, hal.23-24.

[12] . Nashir al-din Thusi, Kasyf al-Murad fi Syarh al-Tajrid al-I’tiqad, hal.423.

[13] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 9, hal.303.

[14]. Mulla Sadra, Asfar, jilid 5, hal.205.

Haid.... Kitataran haid




Kitaran haid

Haid atau datang bulan merujuk kepada satu fisiologi tetap dan teratur yang dialami oleh perempuan yang berada dalam lingkungan umur yang berupaya untuk mengandung. Semasa kedatangan haid, seseorang perempuan akan kehilangan darah. Tempoh pembiakan seseorang perempuan dicirikan dengan perubahan ritma pada rembesan hormon yang diperlukan untuk pembiakan. Corak ritma ini dikenali sebagai kitaran haid.

Fungsi kitaran haid ialah untuk menghasilkan ovum yang matang daripada ovari dan menyediakan lapisan dalam rahim untuk penempelan embrio. Jika tidak berlaku persenyawaan, ovum akan mengalami kemerosotan dan dibuang bersama bahan-bahan lain yang keluar daripada tubuh wanita melalui faraj.

Proses haid akan membuang keluar darah, mukus dan sel-sel yang sudah mati. Proses ini berlaku dalam tempoh yang agak tetap daripada masa akil baligh sehinggalah menopaus (putus haid) kecuali semasa mengandung dan penyusuan. Proses haid bermula daripada umur 12 atau 13 tahun tetapi kadang kala seawal umur 10 tahun dan selewat-lewatnya 16 tahun. Permulaan haid banyak bergantung kepada beberapa faktor seperti kaum, genetik, suhu persekitaran dan pemakanan. Putus haid berlaku pada purata umur 47 tahun (julat umur antara 45 hingga 55 tahun). Purata tempoh kitaran haid bagi wanita yang biasa ialah 28 hari. Hari pertama haid dianggap sebagai hari pertama bagi setiap kitaran baru. Setiap kitaran bagi seorang wanita yang biasa dan sihat ialah antara 20 hingga 45 hari. Perbezaan tempoh kitaran bergantung kepada umur. Tempoh aliran keluar haid juga berbeza-beza.

Purata kitaran haid ialah 6.6 hari manakala pada umur 21 tahun, purata tempoh haid menjadi enam hari sehinggalah mencapai tahap putus haid. Lebih kurang lima peratus perempuan yang sihat datang haid kurang daripada empat hari dan lima peratus lagi perempuan yang mengalami lebih daripada lapan hari. Jumlah purata darah dan tisu yang hilang semasa kedatangan haid ialah 70 mililiter. Wanita yang berumur kurang daripada 35 tahun akan kehilangan darah lebih banyak berbanding wanita yang berumur 35 tahun ke atas.

Jumlah keseluruhan cecair badan yang hilang semasa haid ialah antara 60 hingga 200 mililiter.

Sesetengah perempuan akan mengalami simptom atau gejala yang tidak selesa dalam tempoh haid tersebut. Dalam tempoh tersebut, wanita akan mengalami masalah seperti sakit kepala, pengumpulan cecair, ketegangan payu dara, mudah meradang, keresahan, sakit tulang belakang, kesakitan dan kekejangan pada bahagian abdomen serta tekanan perasaan.

Kehadiran dan keterukan gejala ini berbeza-beza di kalangan perempuan. Masalah ini boleh dibantu oleh ahli farmasi atau diurus sendiri oleh perempuan tersebut. Mereka yang mengunjungi kedai farmasi akan ditemu bual untuk memastikan keterukan masalah dan sama ada perempuan berkenaan harus mendapatkan pemerhatian doktor. Temu bual ini juga dapat membantu ahli farmasi untuk menilai masalah pesakit dan memilih atau menyarankan ubat yang sesuai dan berkesan bagi mengatasi masalah tersebut.

Makna Haid Dan Hikmahnya


Panduan : Syaikh al-Utsaimin rahimahullah

Makna Haid

Dari sudut bahasa, haid (الحيض) ialah: turun sesuatu secara mengalir.

Dari sudut syara’, haid ialah darah yang keluar dari wanita kerana fitrah kejadiannya tanpa sebarang sebab. Ia keluar pada waktu-waktu yang diketahui. Ia adalah darah fitrah yang keluar bukan kerana sakit, luka, keguguran atau kelahiran.


Hikmah Haid

Sesungguhnya janin yang berada di dalam perut ibunya tidak mungkin mendapat makanan seperti orang yang di luar. Ini kerana tidak mungkin bagi seorang ibu untuk menyampaikan makanan kepada anaknya dengan cara yang biasa.


Atas sebab ini Allah Ta’ala menjadikan makanan untuk janin dalam perut ibu daripada darah (ibunya). Ia tidak memerlu kepada pemakanan biasa (solid food) dan penghadaman. (Zat makanan yang berada di dalam darah ibu) sampai ke dalam badan janin melalui pusatnya dan lantas memasuki urat-urat sarafnya. Inilah cara janin mendapat makanan.


Maha Mulia Allah sebagai sebaik-baik pencipta. Inilah hikmah darah haid. Oleh itu apabila berlaku kehamilan, seorang wanita terputus haidnya. Amat jarang berlaku haid ketika hamil. Demikian juga bagi ibu-ibu yang menyusu, sangat sedikit di kalangan mereka yang datang haid terutamanya di awal masa menyusu.



Penerangan Syaikh al-Utsaimin rahimahullah di atas merujuk kepada kes setelah berlakunya persenyawaan dan wanita menjadi hamil. Jika tidak hamil, darah haid berperanan membersihkan sel-sel telur dalam sistem pembiakan wanita yang tidak disenyawakan. Lebih lanjut rujuk buku:

1. Hukum-hukum Wanita Hamil oleh Dr. Yahya ‘Abd al-Rahman (edisi terjemahan oleh Abu Wafa’; al-Izzah, Jakarta 2003).

2. Tuntutan Haidh, Nifas & Darah Penyakit: Tinjauan Fiqih dan Medis oleh Dr. ‘Abd al-Rahman Muhammad al-Rifa’i (edisi terjemahan oleh Mahfud Hidayat & Ahmad Muzayyin; Mustaqim, Jakarta 2003) (penyunting)

Perkara-Perkara Yang Berlaku Ketika Haid.

Pertama: Perbezaan masa haid.

Kadangkala berlaku perbezaan masa haid seorang wanita.

Perbezaan ini wujud dalam dua bentuk:


  1. Tempoh mengalirnya bertambah atau berkurang daripada kebiasaan. Contohnya ialah seorang wanita yang kebiasaannya mengalami haid selama enam hari, tetapi berlarutan selama tujuh hari. Atau seorang wanita yang kebiasaannya mengalami haid selama tujuh hari, lalu dia suci dalam masa enam hari sahaja
  2. Permulaan masa mengalirnya (putaran haid) menjadi awal atau lambat daripada kebiasaan. Contohnya seorang wanita yang kebiasaannya datang haid pada akhir bulan, lalu dia melihat haid hanya datang pada awal bulan. Atau kebiasaannya datang haid pada awal bulan lalu dia hanya melihatnya di akhir bulan.

Sesungguhnya para ilmuan berbeza pendapat dalam dua kes di atas. Namun pendapat yang terkuat dan benar ialah apabila seorang wanita melihat darah mengalir keluar bererti dia haid dan apabila darah berhenti mengalir bererti dia suci (tidak haid). Penentuan ini tidak disyaratkan oleh perbezaan masa sama ada lebih lama atau singkat, sama ada lebih awal atau lewat. Dalil-dalil bagi hal ini telah dikemukakan dalam bab yang sebelumnya. Ini merupakan mazhab Imam al-Syafi’e rahimahullah dan dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah serta dikuatkan lagi oleh Imam Ibn Qudamah di dalam kitabnya al-Mughni, jld. 1, ms. 353:

Jika sesuatu perkara itu berlaku secara lazim dan memerlukan penjelasan (hukum-hukumnya), pasti akan dijelaskan (hukum-hukumnya) oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam tanpa melengah-lengahkannya. Ini kerana sesuatu yang memerlukan penjelasan tidak boleh dilengah-lengahkan.

Para isteri Rasulullah dan selainnya memerlukan penjelasan akan persoalan ini pada setiap masa dan baginda tidak pernah lalai daripada memberikan penjelasan tentangnya.

Tidak pernah lahir daripada baginda sesuatu yang wujud secara lazim melainkan diikuti dengan penjelasannya, kecuali dalam persoalan darah istihadah.

Kedua: Cecair yang kekuningan atau kekeruhan.


Kadangkala bagi seorang wanita mengalir keluar daripadanya cecair (discharge) yang:

  1. Berwarna kekuningan seperti air yang keluar akibat luka. Ini dikenali sebagai Sufrah.
  2. Berwarna kekeruhan antara kuning dan hitam. Ini dikenali sebagai Kudrah.


Sufrah atau Kudrah, jika ia mengalir keluar ketika sedang haid atau bersambungan di akhir masa haid, sebelum suci, maka ia dikategorikan sebagai haid dan diwajibkan ke atasnya hukum-hukum yang bersamaan dengan darah haid biasa.

Jika ia mengalir keluar secara terpisah daripada masa haid, yakni dalam masa suci, maka ia tidak dikategorikan sebagai haid.


Dalilnya adalah kenyataan Umm Athiah radhiallahu 'anha:

“Kami tidak mengira (cecair yang berwarna) kekeruhan dan kekuningan (jika ia keluar) selepas suci sebagai apa-apa (yakni bukan haid).” [Sunan Abu Daud – no: 246 (Kitab al-Thaharah) dengan sanad yang sahih]

Imam al-Bukhari rahimahullah menyusun hadis ini dalam kitab sahihnya di bawah bab: Bab al-Sufrah dan al-Kudrah pada hari-hari selain haid. Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah di dalam kitabnya Fath al-Bari berkata:

al-Bukhari mengisyaratkan dengan demikian bertujuan menyelaraskan antara hadith ‘A’isyah (yang bermaksud): “sehingga kamu semua melihat sesuatu seperti benang putih” dengan hadis Umm ‘Athiah di atas.

Hadis ‘A’isyah merujuk kepada seseorang yang melihat al-Sufrah dan al-Kudrah pada hari-hari haid, manakala hadis Umm ‘Athiah merujuk kepada hari-hari selain haid.

Hadith ‘A’isyah radhiallahu 'anha yang dimaksudkan adalah apa yang disebut oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab sahihnya:

Sesungguhnya para wanita telah mengutus kepada ‘A’isyah bekas yang ada padanya kapas yang padanya ada al-Sufrah, maka ‘A’isyah menjawab:

“Jangan kamu semua segera (bersuci) sehingga kamu semua melihat sesuatu seperti benang putih (yang keluar selepas berhenti darah bercampur al-Sufrah tersebut).”


Ketiga: Haid yang terputus-putus.

Kadangkala juga seorang wanita menghadapi haid yang terputus-putus alirannya, di mana sehari dia didatangi haid manakala hari yang seterusnya tidak ada haid (selang sehari). Permasalahan ini terbahagi kepada dua kes yang berlainan:

  1. Jika ia berlaku secara berterusan, maka ia adalah darah istihadah dan diwajibkan ke atasnya hukum-hukum istihadah. (hukum-hukumnya akan dibahas dalam Bab 5 insya-Allah)
  2. Jika ia tidak berlaku secara berterusan, bahkan hanya sekali-sekala sehingga ada tempoh waktu suci yang jelas baginya. Bagi kes kedua ini, para ilmuan berbeza pendapat: Adakah sehari yang tidak keluar darah itu dikira suci atau dikira haid? Terhadap persoalan ini terdapat tiga pendapat yang dianggap kuat:


Pendapat Pertama:

Ia dianggap sebagai “hari haid” dan diwajibkan ke atasnya hukum-hukum yang bersamaan dengan hari haid biasa.

Ini merupakan satu pendapat yang benar antara dua pendapat Imam al-Syafi’e rahimahullah dan menjadi pilihan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah dan Mazhab Abu Hanifah. Sebab-sebabnya adalah seperti berikut:

  1. Selagi mana tidak kelihatan sesuatu seumpama benang putih pada satu hari yang tidak didatangi haid, ia tetap dianggap sebagai hari haid.
  2. Jika dikatakan satu hari yang tidak didatangi haid sebagai hari suci nescaya hari sebelum dan selepasnya adalah hari haid. Hal seperti ini tidak pernah diperkatakan orang.
  3. Jika dianggap satu hari yang tidak didatangi haid sebagai hari suci nescaya iddah al-Quru’ akan selesai dalam masa lima hari sahaja.Jika dijadikan “satu hari” yang tidak didatangi haid sebagai hari suci pasti ia akan menimbulkan kesempitan dan kesusahan kerana wajib mandi pada setiap dua hari. Sesungguhnya kesempitan dan kesusahan adalah sesuatu yang dinafikan dalam syari’at ini, dan segala puji bagi Allah.


Pendapat Kedua:

Dalam tempoh masa selang sehari tersebut, jika darah mengalir keluar maka dianggap sebagai hari haid, jika tidak maka dianggap sebagai hari suci. Kecuali jika hal ini berlaku melebihi daripada bilangan hari-hari kebiasaan haid, maka ia dianggap sebagai darah istihadah.

Ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanbali.


Pendapat Ketiga:

Pendapat ketiga diberikan oleh Imam Ibn Qudamah rahimahullah dan ia merupakan jalan pertengahan antara dua pendapat yang pertama di atas. Beliau menulis di dalam kitabnya al-Mughni, jld. 1, ms. 355:

(Bagi kes darah haid yang terputus-putus selang sehari), apabila ia berhenti mengalir dan belum genap satu hari (daripada saat berhentinya), seorang wanita itu tidak dikira suci. Ini berdasarkan riwayat yang telah kita sebut dalam perbahasan darah nifas, di mana ia tidak mengambil kira darah yang berhenti dalam tempoh yang belum genap sehari. Riwayat ini adalah sahih, insya-Allah.

Darah yang sekejap ia mengalir dan sekejap ia berhenti akan menyulitkan orang kerana perlu kerap kali mengulangi mandi wajib. Ini menyalahi firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

Dan Ia tidak menjadikan kamu menanggung sesuatu keberatan dan susah payah dalam perkara agama. [al-Hajj 22:78]

Maka atas ini tidaklah dikira suci darah yang berhenti mengalir keluar dalam tempoh yang belum genap sehari. Kecuali jika kelihatannya tandanya yang jelas, seperti ia kering di akhir hari secara kebiasaannya atau ia melihat keluar (sesuatu seumpama) benang putih (barulah dikira suci).


Keempat: Darah haid yang tidak mengalir.

Jika darah haid tidak mengalir, seperti menjadi kering atau hanya lembab, maka hukumnya terbahagi kepada dua kes:

  1. Jika ia berlaku ketika sedang haid atau atau bersambungan di akhir masa haid, sebelum suci, maka ia dikategorikan sebagai haid (dan diwajibkan ke atasnya hukum-hukum yang bersamaan dengan darah haid biasa).
  2. Jika ia berlaku selepas haid, yakni dalam masa suci, maka ia tidak dikategorikan sebagai haid.

Hukum bagi kedua-dua kes ini adalah sebagaimana kes cecair kekuningan atau kekeruhan yang telah dibahas di atas.

Atau boleh sahaja berbeza-beza sehingga menjadi lebih lama atau lebih singkat antara satu masa haid dengan masa haid yang lain (penyunting).

Maksudnya, persoalan haid adalah persoalan yang lazim bagi para isteri dan wanita di zaman baginda. Persoalan-persoalan ini memerlukan penjelasan yang terperinci daripada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Alhamdulillah, baginda telah menjelaskannya secara terperinci dan telah sampai kepada kita dalam kitab-kitab hadis.

Justeru seandainya wujud sesuatu persoalan dalam bab haid ini yang tidak diperjelaskan oleh baginda, bererti ia sememangnya tidak memerlukan penjelasan. Kes perbezaan masa haid adalah antara perkara yang lazim berlaku yang tidak diperjelaskan oleh Rasulullah, bererti ia tidak memiliki apa-apa hukum khusus yang berbeza dengan yang umum.

Hukum umum yang dimaksudkan adalah: Apabila seorang wanita melihat darah mengalir keluar bererti dia haid dan apabila darah berhenti mengalir bererti dia suci (tidak haid) tanpa dipengaruhi oleh perbezaan masanya. (penyunting)

Juga disahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Daud – no: 119. (penyunting)

Di sini Syaikh al-Utsaimin rahimahullah mengemukakan 3 pendapat tanpa menerangkan yang manakah yang lebih kuat atau benar. Ini bererti di sisi beliau ketiga-tiga pendapat ini adalah sama-sama benar. Para pembaca boleh mengamalkan salah satu daripadanya. Setiap satu daripadanya adalah benar dan tidaklah ia saling membatal antara satu sama lain. (penyunting)

Ini kerana beliau memiliki dua pendapat: Qaul Qadim dan Qaul Jadid. (penyunting)

Yakni tempoh iddah bagi seorang wanita yang diceraikan ialah tiga kali suci. Jika dijadikan tempoh masa bagi haid dan suci ialah selang sehari, nescaya waktu iddah ini akan berakhir dalam masa lima hari sahaja. (penyunting)

Maksudnya seorang wanita jangan menganggap dirinya telah suci daripada haid melainkan dengan dua petunjuk:

1. Haid sudah berhenti dan wujud tanda-tanda yang jelas bahawa tempoh haid sudah berakhir. Ini lazimnya merujuk kepada kes haid yang normal.

2. Haid sudah berhenti akan tetapi tidak wujud tanda yang jelas bahawa tempoh haid akan berakhir. Malah wujud kemungkinan ia akan mengalir semula. Ini merujuk kepada kes haid yang terputus-putus atau selang sehari. Maka tunggulah sehingga genap sehari, jika tiada lagi darah mengalir pada esoknya maka barulah pasti tempoh haid sudah berakhir.

Istihadah Dan Hukum-Hukumnya


Istihadah (الاستحاضة) ialah darah yang keluar secara berterusan bagi seorang wanita. Ia keluar tanpa terputus-putus atau mungkin terputus sekejap seperti sehari-dua dalam sebulan.

Dalil bagi kes pertama, yakni darah keluar tanpa terputus-putus ialah sebagaimana aduan Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu 'anha kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana di dalam Shahih al-Bukhari: “Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku tidak suci” manakala dalam satu riwayat yang lain: “Aku didatangi istihadah maka aku tidak suci.”

Dalil bagi kes kedua, yakni darah keluar dengan terputus sekejap ialah kisah Himnah binti Jahsy radhiallahu 'anha yang datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku didatangi darah istihadah yang banyak.” [Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud dan Sunan al-Tirmizi dan beliau (al-Tirmizi) mensahihkannya.]

Terdapat tiga cara bagi membezakan antara darah haid dan istihadah:

Pertama:

Wanita yang memiliki masa haid yang tetap (tempoh dan putarannya). Maka baginya hukum haid dalam masa yang tetap tersebut dan hukum istihadah bagi waktu selainnya.

Contohnya ialah seorang wanita yang lazimnya didatangi haid selama enam hari bermula awal setiap bulan. Kemudian (pada satu bulan) dia mengalami pendarahan yang berterusan. Maka pendarahan enam hari yang pertama bermula dari awal bulan dikira sebagai haid manakala hari-hari selebihnya dikira sebagai istihadah.

‘A’isyah radhiallahu ‘anha menerangkan bahawa Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya aku didatangi istihadah, maka aku tidak suci. Adakah aku perlu meninggalkan solat?”. Rasulullah menjawab: “Tidak, sesungguhnya itu ialah ‘irq (penyakit). Tinggalkan solat pada kadar haid yang kebiasaan bagi kamu, kemudian hendaklah kamu mandi dan dirikan solat.” [Shahih al-Bukhari – no: 325 (Kitab al-Haid)]

Hal yang sama pernah berlaku kepada Umm Habibah binti Jahsy radhiallahu ‘anha dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada beliau:

“Duduklah (dalam keadaan haid) sekadar mana yang pernah kamu alami dari hari-hari haid kamu (yang biasa), kemudian hendaklah kamu mandi dan solat”. [Shahih Muslim – no: 334 (Kitab al-Haid)]

Kesimpulannya, bagi wanita yang memiliki masa haid yang tetap (tempoh dan putarannya), hendaklah dia mengira masa haidnya mengikut kebiasaan. Jika ada pendarahan pada hari-hari seterusnya, hendaklah dia mandi dan solat mengikut ukuran masa haidnya yang biasa. Tidak perlu diberi perhatian kepada pendarahan pada hari-hari seterusnya kerana itu adalah istihadah.

Kedua:

Wanita yang tidak memiliki masa haid yang tetap atau diketahui (tempoh dan putarannya). Contohnnya darah yang keluar secara berterusan sejak awal. Maka baginya dibezakan antara darah haid dan darah istihadah dengan memerhatikan sifat-sifat darah tersebut. Darah yang berwarna hitam (merah kehitaman) dan/atau pekat dan/atau berbau, ia adalah darah haid. Selainnya adalah darah istihadah.

Sebagai contoh, seorang wanita yang mengalami pendarahan secara berterusan. Akan tetapi pada hari kesepuluh kelihatan perbezaan sifat darah:

q Sehingga hari kesepuluh darah berwarna hitam (merah kehitaman) manakala selepas itu ia berwarna merah. Maka darah yang berwarna hitam adalah haid, darah yang berwarna merah adalah istihadah.

q Sehingga hari kesepuluh darah bersifat pekat manakala selepas itu menjadi cair. Maka darah yang pekat adalah haid, darah yang cair adalah istihadah.

q Sehingga hari kesepuluh darah memiliki bau manakala selepas itu tiada lagi bau. Maka darah yang berbau adalah haid, darah yang tidak berbau adalah istihadah.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu ‘anha:

“Apabila darah itu adalah haid maka sesungguhnya ia hitam (lagi) dikenali, justeru hendaklah kamu menahan dari melakukan solat. Jika ia adalah (darah) selain itu maka hendaklah kamu berwudhu’ dan mendirikan solat kerana sesungguhnya ia adalah (darah) penyakit.” [Sunan Abu Daud – no: 247 (Kitab al-Thaharah) dan Sunan al-Nasa’i dengan disahihkan oleh Ibn Hibban dan al-Hakim]

Hadis di atas memiliki perbincangan dari sudut sanad dan matannya, akan tetapi para ilmuan rahimahumullah telah beramal dengannya. Bahkan ia adalah lebih utama daripada membiarkan persoalan ini kepada adat kebiasaan wanita.

Ketiga:

Wanita yang tidak memiliki masa (tempoh dan putaran) haid yang tetap dan tidak juga memiliki sifat-sifat darah yang dapat dibezakan antara haid dan istihadah. Maka baginya masa haid diukur berdasarkan kebiasaan wanita, waktu selebihnya dikira sebagai istihadah.

Sebagai contoh, wanita yang menghadapi kes ketiga ini melihat darah keluar secara berterusan bermula pada hari Khamis yang pertama dalam bulan tersebut. Maka hendaklah dia melihat kebiasaan para wanita lain yang menghampirinya dan menjadikan tempoh haid mereka sebagai ukuran ke atas dirinya. Jika pada kebiasaannya mereka didatangi haid selama enam atau tujuh hari, maka demikianlah juga ukuran ke atas dirinya. Oleh itu enam atau tujuh hari yang pertama pendarahan, bermula daripada hari Khamis, dianggap sebagai haid. Hari-hari seterusnya dianggap sebagai istihadah.

Hadis berikut menjadi rujukan dalam kes ketiga ini. Himnah binti Jahsy radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Ya Rasulullah! Sesungguhnya saya seorang wanita yang didatangi istihadah yang amat banyak, apakah pandangan engkau berkenaannya? Sesungguhnya ia menegah aku daripada mendirikan solat dan puasa.”

Rasulullah menjawab: “Aku akan terangkan untuk kamu (cara menggunakan) al-Kursuf (kapas yang diletakkan di faraj), sesungguhnya ia dapat menghilangkan darah.”

Himnah berkata: “Ia (darah saya) lebih banyak dari demikian itu”.

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ia (pendarahan kamu) adalah hentakan dari hentakan-hentakan syaitan, maka (apabila) kamu didatangi haid selama enam atau tujuh hari pada ilmu Allah Ta’ala, hendaklah kamu mandi apabila kamu lihat bahawa kamu telah suci (dari darah haid), maka hendaklah kamu solat pada pada dua puluh tiga malam atau dua puluh empat malam dan siangnya dan hendaklah kamu berpuasa.” [Sunan Abu Daud – no: 248 (Kitab al-Thaharah) dan Sunan al-Tirmizi – no: 118 (Kitab al-Thaharah) dan berkata al-Tirmizi, hadis ini hasan sahih]

Sabda Rasulullah: “Enam atau tujuh hari” bukanlah penetapan tetapi ijtihad. Oleh itu hendaklah setiap wanita yang menghadapi kes ketiga ini berijtihad akan satu tempoh haid yang sesuai baginya. Ijtihad dibuat dengan merujuk kepada tempoh haid yang lazim dihadapi oleh para wanita lain yang menghampiri dirinya, seperti daripada keluarga atau adik beradik yang sama, rakan-rakan yang sebaya umurnya dan lain-lain lagi.

Demikian tiga cara yang paling lazim bagi membezakan antara darah haid dan istihadah. Sebagai penjelasan tambahan, kadang-kala berlaku pendarahan yang disalah anggap sebagai istihadah. Kesalahan ini boleh berlaku dalam dua kes:

Pertama:

Wanita yang mengetahui dengan jelas bahawa dia tidak akan didatangi haid lagi, seperti setelah melakukan pembedahan yang melibatkan pemotongan atau ikatan rahim. Maka baginya, yang mengalir keluar bukanlah istihadah tetapi al-Sufrah (cecair kekuningan) dan al-Kudrah (cecair kekeruhan antara kuning dan hitam) atau basahan. Maka hendaklah dia mendirikan solat dan puasa, serta boleh bersetubuh dengan suaminya. Dia tidak diwajibkan mandi (mandi wajib) kerana darah yang keluar tersebut.

Akan tetapi hendaklah dia membasuh faraj serta mengikatnya dengan kainsupaya dapat mencegah darah daripada mengalir keluar. Bagi setiap solat fardhu, hendaklah dia berwudhu’ sesudah masuk waktu kemudian terus bersolat. Bagi setiap solat sunat, hendaklah dia berwudhu’ apabila sahaja hendak mendirikannya.

Kedua:

Wanita yang tidak tahu secara jelas sama ada dia akan didatangi haid atau tidak. Maka baginya, pendarahan yang berlaku dianggap sebagai haid dan istihadah, dibezakan dengan tiga cara yang telah disebut di atas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

“Sesungguhnya yang demikian itu ialah ‘irq (penyakit) bukanlah darah haid maka apabila datang haid maka hendaklah kamu meninggalkan solat.” [Shahih al-Bukhari – no: 306 (Kitab al-Haid)]

Sabda Rasulullah: “…Maka apabila datang haid…” menjadi petunjuk yang membezakan antara haid dan istihadah. Maka bagi seorang wanita yang mungkin baginya untuk datang haid, maka hendaklah dia membezakan antara haid dan istihadah sepertimana tiga cara yang disebut di atas. Bagi wanita yang tidak mungkin didatangi haid maka yang wujud hanyalah ‘Irq (penyakit) dalam apa jua keadaan sekalipun.

Hukum-Hukum Istihadah.

Sebelum ini dalam Bab 4 kita telah bahas hukum-hukum yang diwajibkan ke atas wanita yang sedang haid. Kini kita akan bahas pula hukum-hukum yang diwajibkan ke atas wanita yang beristihadah. Apabila seorang wanita telah memastikan bahawa dia sedang mengalami pendarahan istihadah dan bukan haid, maka hukum-hukum yang diwajibkan ke atasnya adalah sama sepertimana wanita yang suci kecuali dalam tiga perkara berikut:

Pertama:

Wanita yang beristihadah wajib berwudhu’ setiap kali hendak solat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu 'anha di dalam Shahih al-Bukhari – no: 228: “Kemudian hendaklah kamu berwudhu’ pada setiap solat.” Hadis ini memberi makna bahawa dia tidak berwudhu’ untuk solat yang berwaktu kecuali selepas masuk waktunya. Adapun bagi solat yang tidak berwaktu (solat sunat) maka dia berwudhu’ ketika hendak melaksanakannya.

Kedua:

Apabila wanita yang beristihadah hendak berwudhu’, hendaklah dia membasuh kesan darah dan mengikat farajnya dengan cebisan kain yang dilapik dengan kapas supaya dapat menahan darah Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Himnah radhiallahu 'anha:

“Aku akan terangkan untuk kamu (cara menggunakan) al-Kursuf (kapas yang diletakkan di faraj), sesungguhnya ia dapat menghilangkan darah.”

Himnah berkata: “Ia (darah saya) lebih banyak dari demikian itu”.

Rasulullah bersabda: “Maka hendaklah kamu mengekangnya (mengikatnya)….” [Sunan al-Tirmizi – no: 118 (Kitab al-Thaharah) dan beliau berkata: Hadis ini hasan sahih]

Apa yang keluar (apa-apa pendarahan) selepas itu tidaklah memudaratkan (tidak membatalkan wudhu’) berdasarkan hadis berikut riwayat Ahmad dan Ibn Majah:

“Wahai Rasulullah, Sesungguhnya aku seorang wanita yang mengalami istihadah sehingga aku tidak suci, apakah aku patut meninggalkan solat? Tidak, hendaklah kamu jauhi solat pada hari-hari haidmu (sahaja) kemudian hendaklah kamu mandi dan berwudhu’ untuk setiap solat kemudian dirikanlah solat walaupun darah menitis jatuh ke atas tikar [Musnad Ahmad – no: 25681 dan disahihkan oleh Syu‘aib al-Arnauth]

Ketiga:

Bersetubuh, maka para ilmuan berselisih pendapat mengenai kebolehannya. Pendapat yang sahih adalah ianya harus (dibolehkan) tanpa sekatan berdasarkan sebab-sebab berikut:

  1. Merupakan satu kelaziman bagi para wanita pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengalami istihadah. Akan tetapi Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menegah para suami daripada menyetubuhi isteri mereka.
  2. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:

Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan (jangan bersetubuh dengan isteri kamu) dalam masa datang darah haid itu. [al-Baqarah 2:222] Ayat ini menjadi dalil bahawa larangan bersetubuh hanyalah ke atas isteri yang sedang haid, tidak selain itu.

  1. Jika diharuskan solat bagi wanita yang beristihadah, maka sudah tentu diharuskan juga bersetubuh kerana bersetubuh adalah sesuatu yang lebih kecil berbanding solat.

Pendapat yang melarang bersetubuh mengqiyaskan wanita yang beristiadhah dengan wanita yang haid. Ini adalah qiyas yang tidak benar kerana wanita istihadah dan wanita haid adalah dua kes yang saling berlainan.

Maksudnya, jika persoalan ini dibiarkan kepada adat kebiasaan wanita, ia akan terdedah kepada pelbagai pendapat dan hukum yang tidak benar. Justeru lebih baik menggunakan hadis di atas sebagai rujukan. Sekalipun ia memiliki perselisihan pendapat dari sudut kekuatannya, maksudnya tetap selari dengan lain-lain petunjuk syari‘at sehingga menjadi amalan para ilmuan sejak dari dahulu. (penyunting)

“Para wanita lain” ini hendaklah memiliki tempoh dan putaran haid yang normal. Sebagai contoh, jika seorang wanita menghadapi kes ketiga ini, hendaklah dia merujuk kepada tempoh dan putaran haid yang lazim bagi adik beradiknya yang lain. Jika mereka didatangi haid selama 10 hari setiap satu bulan, maka tempoh 10 hari tersebut menjadi ukuran bagi dirinya juga. Maka bagi pendarahan berterusan yang dihadapinya, 10 hari setiap bulan dianggap sebagai haid manakala selebihnya dianggap istihadah. (penyunting)

Atau tuala wanita (penyunting).

Maksudnya, satu wudhu’ bagi satu solat. Hukum ini khusus sebagai satu kemudahan (rukhsah) untuk kes ini sahaja supaya apa-apa yang mengalir keluar dari faraj tidak dikira membatalkan solat. Justeru tidak boleh menggunakan wudhu’ yang sama untuk dua solat, seperti menggunakan wudhu’ yang sama untuk menunaikan solat Maghrib dan “menyimpannya” untuk solat Isya’ kemudian. Juga tidak boleh berwudhu’ jauh sebelum waktu solat, seperti mengambil wudhu’ pada pukul 6 petang untuk solat Maghrib pada pukul 7.30 malam. (penyunting)

Atau dengan memakai tuala wanita. (penyunting)

Musnad Ahmad – no: 25681 dan disahihkan oleh Syaikh Syu‘aib al-Arnauth.