27.6.10

Sholat Dhuha


Waktu sholat Dhuha

Sholat Dhuha adalah sholat sunnah yang dilaksanakan pada waktu dhuha, yaitu mulai matahari beranjak naik satu tombak (kira2 jam 7 atau 7.30) sampai pada waktu istiwa, menjelang sholat dhuhur (kira2 jam 11 siang).

"Dari Zaid bin Arqam, Bahwa ia melihat orang-orang mengerjakan sholat Dhuha (pada waktu blm begitu siang), maka ia berkata : "Ingatlah sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa Sholat Dhuha pada selain saat-saat seperti itu adalah lebih utama, karena sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Sholatnya Orang2 yang kembali kepada Allah adalah pada waktu anak-anak onta sudah bangun dari pembaringannya karena tersengat panasnya matahari." (HR. Muslim)

Dan qiyas dari saat bangunnya anak onta adalah sekitar jam 7 atau 7:30 karna negri Arab yg kita tahu adalah negri yang panas. untuk hati2nya sangat dianjurkan mulai jam 8 ke atas.

Boleh dikerjakan 2 rakaat, boleh 4 rakaat sampai 12 rakaat.

Menurut Imam Ar-Rauyani dan Imam Ar-Rafi’i, sebanyak-banyaknya dua belas rakaat. Dikerjakan dengan sekali salam setiap-tiap dua rakaat. Waktunya adalah sejak terbitnya matahari hingga tergelincirnya matahari. (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, 4/35-36).

Boleh sendiri boleh berjama'ah :

yaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, misalnya, mengatakan,”Sholat Dhuha ini dapat dikerjakan secara sendirian dan dapat pula dikerjakan berjama’ah.” Beliau lalu menyebutkan dalilnya, yaitu hadis dari ‘Itban bin Malik RA yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Ibnu Khuzaimah. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shalah, 2/399).

Dalam kitab Fathul Bari (Syarah Shahih Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dinukilkan hadis ‘Itban bin Malik RA tersebut, bahwa Rasulullah SAW telah melakukan sholat Dhuha (subhata adh-dhuha) di rumahnya [rumah 'Itban bin Malik], lalu orang-orang berdiri di belakang beliau dan mereka pun sholat dengan sholat beliau. (fa-qaamuu waraa`ahu fa-shalluu bi-shalaatihi). (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 4/177).

Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani menjelaskan bahwa hadis di atas adalah hadis riwayat Imam Ahmad. Beliau juga menyatakan bahwa hadis yang semakna ini telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari shahabat Ibnu Wahab bin Yunus RA. (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 4/177; HR Ahmad no 22657; Ibnu Khuzaimah no 1165).

Dari ‘A`idz bin Amr RA dia berkata,”Suatu saat air sedikit, maka Rasulullah SAW pun berwudhu dengan air dalam satu gelas (qadah) atau satu mangkuk besar (jafnah). Lalu Rasulullah SAW menasehati kami karena sedikitnya air saat itu. Rasulullah SAW bersabda,’Orang yang bahagia di antara kita adalah orang yang terkena musibah, tapi dia tidak memperlihatkan itu kepada kita. Kecuali kalau musibah itu sudah menimpa semua orang dalam satu kaum.’ Kemudian Rasululullah SAW shalat Dhuha bersama-sama kami (tsumma shalla binaa rasulullah SAW adh-dhuha).” (HR Ahmad no 19721; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no 14462)

Anjuran dan keutamaan :

Aisyah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah meninggalkan amal padahal beliau senang untuk mengamalkannya, karena takut manusia mengamalkannya lalu difardhukan atas mereka. Saya tidak (pernah melihat Rasulullah 2/54) melakukan shalat sunnah seperti shalat sunnah dhuha, dan sesungguhnya saya mengerjakannya.(HR.Bukhori)

Abu Hurairah berkata, "Kekasih (baca: Rasulullah) aku berpesan kepadaku dengan tiga hal yang tidak aku tinggalkan sampai mati. Yaitu, puasa tiga hari setiap bulan, shalat (dua rakaat, 2/274) dhuha, dan tidur di atas witir (sebelum tidur shalat witir dulu)." (Bukhori)

Rasulullah bersabda : “Siapa saja yang dapat mengerjakan Shalat Dhuha dengan istiqomah akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak busa lautan.” (HR. Turmudzi)

Dalam hadist Qusdi, Nuwas bin Sam’an ra menuturkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Wahai Anak Adam, jangai sekali-kali engkau malas mengerjakan empat raka’at pada waktu permulaan siang (yakni Shalat Dhuha), nanti pasti kucukupkan kebutuhanmu pada sore harinya.” (HR. Hakim dan Thabrani)

Dari Abu Dzar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “hendaklah masing-masing kamu tiap-tiap pagi bershadaqah untuk persendian badannya. maka itap kali bacaan tasbih bacaan tasbih (subhanallah) itu shadaqah, tiap tahmid (alhamdulillah) itu shadaqah, setiap tahlil (laa ilaaha Illallah) itu shadaqah, menyuruh kebaikan dan melarang kejahatan itu shadaqah, dan sebagai ganti itu semua, cukuplah mengerjakan shalat dhuha dua rakaat.” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud)

Dari Abu Darda ia berkata: "Kekasihku telah berwasiat kepadaku tiga hal. Hendaklah saya tidak pernah meninggalkan ketiga hal itu selama saya masih hidup : 1. Menunaikan puasa tiga hari pada setiap bulan, 2. Mengerjakan Sholat Dhuha, dan 3. Tidak tidur sebelum menunaikan sholat Witir. (HR.Muslim Abu Dawud Turmudzi & nasa'ie)

Dari Anas ibn Malik, bahwa Nabi SAW bersabda : "Barang siapa mengerjakan sholat Dhuha 12 Rakaat, maka Allah akan membangunkan untuknya istana di syurga" (HR. Turmudzi dan Ibnu Majah, hadits Hasan)

Wallahu a’lamu bishowab

25.6.10

Shalat Jama’ah bagi Wanita

Shalat Jama’ah bagi Wanita Tidaklah Wajib

Shalat jama’ah tidaklah wajib bagi wanita dan ini berdasarkan kesepatakan para ulama kaum muslimin. Akan tetapi shalat jama’ah tetap dibolehkan bagi wanita –secara global- menurut mayoritas para ulama.

Wanita tidak wajib melaksanakan shalat secara berjama’ah. Shalat jama’ah hanya wajib bagi laki-laki. Adapun para wanita, mereka tidak wajib mengerjakan shalat secara berjama’ah. Akan tetapi boleh atau mungkin dianjurkan bagi mereka melaksanakan shalat secara jama’ah dengan imam di antara mereka (para wanita). Namun sebagaimana yang kami katakan bahwa imam mereka berdiri di antara shaf yang ada (bukan maju ke depan)” (Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 103, Dar Ibnul Haitsam)

Shalat Jama’ah Wanita Bersama Wanita Lainnya

Ini dibolehkan berdasarkan tiga alasan:
1. Berdasarkan keumuman hadits yang menceritakan keutamaan shalat jama’ah. Dan asalnya, wanita memiliki hukum yang sama dengan laki-laki sampai ada dalil yang membedakannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنما النساء شقائق الرجال

Wanita adalah bagian dari pria.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Maksudnya adalah shalat jama’ah bersama wanita tetap dibolehkan sebagaimana pria berjama’ah dengan sesama pria.

2. Tidak ada larangan mengenai shalat wanita bersama wanita lainnya.

3. Hal ini juga pernah dilakukan oleh beberapa sahabat wanita seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. (Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 509)
Dari Roithoh Al Hanafiyah, dia mengatakan:

أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة

’Aisyah dulu pernah mengimami para wanita dan beliau berdiri (sejajar) dengan mereka ketika melaksanakan shalat wajib.” (HR. ‘Abdur Rozak, Ad Daruquthniy, Al Hakim dan Al Baihaqi. An Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didho’ifkan oleh Syaikh Al Albani, namun dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh binti Husain. Lihat Tamamul Minnah, hal. 154)
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan:

أمتنا أم سلمة في صلاة العصر قامت بيننا

Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika shalat Ashar dan beliau berdiri di tengah-tengah kami.” (HR. Abdur Rozak, Ibnu Abi Syaibah, Al Baihaqi. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya dari jalur Qotadah dari Ummul Hasan)

Ummul Hasan juga pernah melihat Ummu Salamah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengimami para wanita (dan Ummu Salamah berdiri) di shaf mereka. (Atsar ini adalah atsar yang bisa diamalkan sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 504)
Ada pula ulama yang menganjurkan shalat jama’ah bagi wanita dengan sesama mereka berdasarkan hadits dalam riwayat Abu Daud dalam Bab “Wanita sebagai imam”,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزُورُهَا فِى بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا. قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi Ummu Waroqoh di rumahnya. Dan beliau memerintahkan seseorang untuk adzan. Lalu beliau memerintah Ummu Waroqoh untuk mengimami para wanita di rumah tersebut.”
‘Abdurrahman (bin Khollad) mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan tersebut adalah seorang pria tua.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Pelajaran penting: Dalam shalat jama'ah jika yang melaksanakannya adalah sesama wanita dan salah satu wanita menjadi imam, maka yang menjadi imam berdiri di tengah-tengah shaf dan bukan maju ke depan.

Shalat Jama’ah Wanita Bersama Lelaki

Hal ini dibolehkan bagi wanita, baik wanita itu sendiri sebagai makmum atau bersama makmum wanita lainnya atau dia berada di belakang jama’ah pria. Hal ini berdasarkan banyak dalil di antaranya adalah hadits dari Anas.

Anas mengatakan, “Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami secara jama’ah di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ibuku –yakni Ummu Salamah (nama aslinya adalah Rumaysho)- berada di belakang kami.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu juga terdapat hadits dari Ummu Salamah. Dia mengatakan, “Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam, ketika itu para wanita pun berdiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap berada di tempatnya beberapa saat.” (HR. Bukhari)

Tidak Dibolehkan Wanita yang Bukan Mahrom Bermakmum di Belakang Seorang Lelaki

Kalau seorang wanita bermakmum di belakang suami atau yang masih mahrom dengannya, ini dibolehkan karena tidak ada ikhtilath yaitu campur baur yang terlarang di antara pria dan wanita karena masih mahrom.

Namun jika wanita tersebut bermakmum sendirian di belakang imam yang bukan mahrom tanpa ada jama’ah wanita atau pria lainnya, maka ini terlarang. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Namun boleh jika ada wanita yang lain, sedangkan imamnya sendiri tanpa ada jama’ah pria karena pada saat ini sudah tidak ada fitnah (godaan dari wanita). Akan tetapi, jika masih ada fitnah, tetap hal ini tidak dibolehkan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 510)

Yang Lebih Baik Bagi Wanita Adalah Shalat Di Rumahnya

Wanita tetap diperkenankan mengerjakan shalat berjama’ah di masjid, namun shalat wanita lebih baik adalah di rumahnya.
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lihat pembahasan terkait di sini.

3 Syarat yang Harus Dipenuhi Wanita Jika Ingin Melakukan Shalat Jama’ah Di Masjid

Pertama, minta izin kepada suami atau mahrom terlebih dahulu dan hendaklah suami tidak melarangnya.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.” (HR. Muslim). An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Keluarnya wanita ke masjid, jika tidak menimbulkan fitnah dan selama tidak menggunakan harum-haruman.”

Bahkan tidak boleh seseorang menghalangi wanita atau istrinya ke masjid sebagaimana dapat dilihat dalam kisah berikut. Lihatlah kisah Bilal bin Abdullah bin ‘Umar dengan ayahnya berikut.
Dalam Shohih Muslim no. 442 dari jalan Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.

Kemudian Bilal bin Abdullah bin ‘Umar mengatakan,
وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ

“Demi Allah, sungguh kami akan menghalangi mereka.”


Lalu Abdullah bin ‘Umar mencaci Bilal dengan cacian yang keras yang aku belum pernah mendengar sama sekali cacian seperti itu dari beliau. Kemudian Ibnu Umar mengatakan, “Aku mengabarkan padamu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau katakan, ‘Demi Allah, kami akan mengahalangi mereka!!

Kedua, tidak boleh menggunakan harum-haruman dan perhiasan yang dapat menimbulkan fitnah.


Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ

Wanita mana saja yang memakai harum-haruman, maka janganlah dia menghadiri shalat Isya’ bersama kami.” (HR. Muslim)


Zainab -istri ‘Abdullah- mengatakan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada para wanita,

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا

Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (HR. Muslim)

Ketiga, jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur yang terlarang antara pria dan wanita) ketika masuk dan keluar dari masjid.
Dalilnya adalah hadits dari Ummu Salamah:

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا سلم قام النساء حين يقضي تسليمه ويمكث هو في مقامه يسيرا قبل أن يقوم . قال نرى - والله أعلم - أن ذلك كان لكي ينصرف النساء قبل أن يدركهن أحد من الرجال

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salam dan ketika itu para wanita pun berdiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap berada di tempatnya beberapa saat sebelum dia berdiri. Kami menilai –wallahu a’lam- bahwa hal ini dilakukan agar wanita terlebih dahulu meninggalkan masjid supaya tidak berpapasan dengan kaum pria.” (HR. Bukhari)

12.6.10

Jiwaku berkata kepadaku

Jiwa

Jiwaku berkata kepadaku
Hai kau yang telah disibukkan oleh
Fatamorgana dunia .....
Apa yang ingin kau cari dari dunia...?
Lihatlah...tak ada orang yang memandangmu
Cahaya pun enggan menyinari mu
Dirimu dirimu dikala pagi
Tuhanpun muak dengan dosa dosamu
Tingkahlakumu...............
Kau beribadah kepada Nya
Tapi kau juga bermaksiat kepada Nya
Apakah kau yakin ibadahmu diterima oleh Nya?
Apakah kau yakin taubatmu di ampuni oleh NYa?
Tangisilah dirimu dengan tangisan penyesalan
Sepanjang hidupmu

Jiwaku bertanya kepadaku
Apa yang ingin kau cari dari sandiwara dunia ini
Apakah kau mencari cinta....?
Lihatlah cinta...
Lihatlah berapa banyak orang yang terluka
Karena cinta
Lihatlah cinta...
Apakah kau ingin cari cinta
Sampai bila kau akan disibukkan dengan urusan cinta?

Sebelum jiwaku menasehatiku
Aku berkata........
Cinta yang ada dihatiku
Bagaikan seutas benang tipis yang terikat oleh pasak
Jiwaku menasehati dan meng ajariku
agar mencintai mereka yang membenciku
Dan menjalin persahabatan dengan mereka yang memusuhiku

Jiwaku menunjukan kepadaku,
cinta mengembangkan dirinya
Tidak hanya kepada mereka yang mencintai,
Tetapi juga kepada mereka yang dicintai
Namun sekarang cinta sudah menjadi
Lingkaran cahaya tanpa awal maupun akhir
Cinta mengelilingi insan dan perlahan akan merengkuh semuanya

Sebelum jiwaku menasehatiku
Aku melihat kecantikan laksana obor yang bergoyang
Diantara kepulan asapnya...
Namun manakal asap itu hilang tersapu angin
Aku tak melihat apapun melainkan
Api yang menyala nyala

Jiwaku menasehatiku dan mengajari aku
Untuk mendengar suara yang tak terdengar
Oleh telinga, takterucapkan oleh lidah
Tenggorokan dan bibir insan

Sebelum jiwaku menasehatiku
Aku tak mendengar suara apapun
Kecuali tangisan dan jeritan
Namun, kini aku mencari keheningan dan
Mampu mendengarnya melantunkan lagu dan sajak
Kepada usia dan angkasa serta mimpi
Mengungkapkan rahasia dari Yang Tak terlihat

Jiwaku menasehatiku
Untuk menyentuh impianku
Yang belum terwujud
Jiwaku mengatakan padaku bahwa
Apapun yang kita sentuh itu
Sebenarnya bagian dari keinginan kita
Namun kini jemariku tak kuasa
Untuk melukis semua yang ada dalan khayalanku
Dan menulis semua yang ada dalam hatiku
Yang bercampur dengan kegelisahan yang tak Nampak

Jiwaku menasehatiku
Janganlah kau mengukur waktu dengan berkata
semalam adalah masa lalu dan
Esok adalah impian
Sebelum jiwaku mengatakan hal itu
Aku membayangkan
Masa lalu sebagai yang tek terulang
Dan masa depan adalah sesuatu yang tak teraih

Jiwaku berkata kepadaku
Apa yang kau inginkan dari dunia ini
Apakah kau tak melihat kuasa Tuhanmu
Lihatlah.....
Langit membentang tanpa tiang
dan planet planet bergerak sesuai perhitungan
dan air yang dipertemukan
tapi ada perbedaan diantara keduanya
lihatlah kuasa Tuhanmu
Ia menjadikan manusia berpasang pasangan
Dan Ia menciptakan pasanganmu dari jenismu sendiri
Agar kau senang akan hal itu
Apakah kau tak lihat surga
Yang diceritakan dalam kitab sucimu
Yang di bawahnya mengalir air susu dan arak
Yang setiap saat kau bisa meneguknya
Tanpa kau merasa kenyang akan hal itu
Apa yang perlu kau ragukan lagi
Di surga sana terdapat bidadari bidadari
Bermata bening yang belum pernah di sentuh oleh siapapun
Dan kau halal akan bidadari itu
semua yang tercipta adalah untukku, untukmu,dan untuk kita

sebelum jiwaku berkata kepadaku akan hal itu
aku mencuba mensyukuri atas nikmat Tuhanku
yang telah di anugerahkan kepadaku
sehingga hatiku dapat mendengar semua yang kau ucapkan
aku mencuba bersyukur atas nikmat Tuhanku....

jiwaku mengajariku dan menasehatiku
tentang banyak hal......
saudaraku sebagaimana pula jiwamu menasehatimu
sesungguhnya engkau dan diriku adalah Satu
tak ada perbedaan diantara kita
kecuali ketegasan yang ada di dalam diriku
yang engkau jaga sebagai sebuah rahsia
yang ada dalam hatimu


7.6.10

Berserah kepada Allah

Persoalan menyerah diri sering menimbulkan kekeliruan kepada orang yang berlarutan membincangkan mengenainya. Suasana hati dan darjat akal mengeluarkan berbagai-bagai huraian tentang berserah diri kepada Allah s.w.t.

Ada orang beranggapan berserah diri adalah berpeluk tubuh, tidak melakukan apa-apa. Ada pula berpendapat orang yang berserah diri itu hidup dalam ibadat semata-mata, tidak memperdulikan kehidupan harian. Banyak lagi anggapan dan pendapat yang dikemukakan dalam menjelaskan mengenai berserah diri.

Sifat orang yang berserah diri adalah merujuk sesuatu perkara yang diperselisihkan kepada Allah s.w.t. Mereka tidak taasub memegang sesuatu fahaman yang diperolehi melalui fikirannya atau pendapat orang lain. Mereka bersedia melepaskan fahaman dan pendapat peribadi sekiranya ia bercanggah dengan peraturan dan hukum Tuhan. Sewaktu hidup di dalam dunia ini lagi mereka mengembalikan segala urusan kepada Allah s.w.t kerana mereka yakin bahawa diri mereka dan urusan mereka akan kembali juga kepada Allah s.w.t di akhirat kelak.

Perjumpaan dengan Allah s.w.t di akhirat menguasai tindakan mereka sewaktu hidup di dunia ini.
Dan (katakanlah wahai Muhammad kepada pengikut-pengikutmu): “Apa jua perkara agama yang kamu berselisihan padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Hakim yang demikian kekuasaan-Nya ialah Allah Tuhanku; kepada-Nya jualah aku berserah diri dan kepada-Nya jualah aku rujuk kembali (dalam segala keadaan)”. ( Ayat 10 : Surah asy-Syura )

Orang yang berserah diri kepada Allah s.w.t, mengembalikan urusan mereka kepada-Nya, meyakini bahawa golongan manusia yang benar-benar mengerti kehendak Allah s.w.t adalah golongan nabi-nabi. Oleh itu pegangan dan tindakan para anbia mesti dijadikan sandaran dalam membentuk pegangan peribadi dan juga dalam melakukan tindakan.

Dan ia (Yaakub) berkata lagi: “Wahai anak-anakku! Janganlah kamu masuk (ke bandar Mesir) dari sebuah pintu sahaja, tetapi masuklah dari beberapa buah pintu yang berlain-lain. Dan aku (dengan nasihatku ini), tidak dapat menyelamatkan kamu dari sesuatu takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Kuasa menetapkan sesuatu (sebab dan musabab) itu hanya tertentu bagi Allah. Kepada-Nya jualah aku berserah diri, dan kepada-Nya jualah hendaknya berserah diri orang-orang yang mahu berserah diri”. ( Ayat 67 : Surah Yusuf )

Ayat di atas menceritakan sifat berserah diri yang ada pada Nabi Yaakub a.s. Beliau a.s menasihatkan anak-anaknya yang sebelas orang itu memasuki kota Mesir melalui pintu-pintu yang berlainan. Ia menunjukkan Nabi Yaakub a.s mengakui tuntutan berikhtiar sebagaimana kedudukan mereka sebagai manusia. Walaupun begitu Nabi Yaakub a.s mengingatkan pula anak-anaknya bahawa mengikuti nasihat beliau a.s bukanlah jaminan yang anak-anaknya akan selamat dan mendapatkan apa yang mereka cari.

Ikhtiar pada zahir mesti disertai dengan iman pada batin. Orang yang beriman meyakini bahawa Allah s.w.t sahaja yang mempunyai kuasa penentuan. Oleh yang demikian orang yang beriman dituntut agar berserah diri kepada Allah s.w.t sahaja, tidak berserah diri kepada yang lain, sekalipun yang lain itu adalah malaikat, wali-wali ataupun ayat-ayat Allah s.w.t. Allah s.w.t yang menguasai malaikat, wali-wali dan ayat-ayat-Nya.

Penyerahan bulat kepada Allah s.w.t bukan kepada sesuatu yang dinisbahkan kepada-Nya. Perkara ini dinyatakan oleh Nabi Hud a.s sebagaimana yang diceritakan oleh ayat berikut:

“Kerana sesungguhnya aku telah berserah diri kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kamu! Tiadalah sesuatupun dari makhluk-makhluk yang bergerak di muka bumi melainkan Allah jualah yang menguasainya. Sesungguhnya Tuhanku tetap di atas jalan yang lurus”. ( Ayat 56 : Surah Hud )

Tuhan berada di atas jalan yang lurus. Tuhan tidak mengantuk, tidak lalai, tidak keliru dan tidak melakukan kesilapan. Apa sahaja yang Tuhan lakukan adalah benar dan tepat. Tuhan berbuat sesuatu atas dasar ketuhanan dan dengan sifat ketuhanan, tidak ada pilih kasih. Dia adalah Tuhan Yang Maha Adil. Pekerjaan-Nya adalah adil. Dia adalah Tuhan Yang Maha Mengerti dan Maha Bijaksana. Pekerjaan-Nya adalah sempurna, teratur dan rapi. Dia adalah Tuhan Pemurah dan Penyayang. Pekerjaan-Nya tidak ada yang zalim. Tuhan yang memiliki sifat-sifat ketuhanan yang baik-baik itu mengadakan peraturan untuk diikuti. Mengikuti peraturan-Nya itulah penyerahan kepada-Nya. Nabi-nabi dan orang-orang yang beriman diperintahkan supaya menyampaikan kepada umat manusia apa yang datang daripada Allah s.w.t. Pekerjaan manusia adalah menyampaikan. Jika apa yang disampaikan itu tidak diterima, maka serahkannya kepada Allah s.w.t. Dia memiliki Arasy yang besar, yang memagari sekalian makhluk. Tidak ada makhluk yang dapat menembusi Arasy-Nya. Arasy-Nya adalah pagar Qadar. Apa yang dia ciptakan dan tentukan untuk makhluk-Nya dipagari oleh Arasy.

Kemudian jika mereka berpaling ingkar, maka katakanlah (wahai Muhammad): “cukuplah bagiku Allah (yang menolong dan memeliharaku), tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; kepada-Nya aku berserah diri, dan Dia jualah yang mempunyai Arasy yang besar”. ( Ayat 129 : Surah at-Taubah )
Tauhid adalah kesudahan pencapaian. Pada peringkat ini, syirik tidak ada lagi walaupun sebesar zarah. Dalam proses mencapai tauhid perlu ada pengasingan dan perbezaan antara Tuhan dengan yang selain Tuhan. Tidak boleh diadakan sekutu bagi Tuhan. Tidak boleh meletakkan anasir alam, amal, doa dan sebagainya pada kedudukan yang boleh menyebabkan timbul anggapan yang selain Tuhan itu mampu mencabar kekuasaan Tuhan. Tidak boleh terjadi ketaatan dan penyayangan terhadap sesuatu melebihi ketaatan dan penyayangan terhadap Allah s.w.t.

SANDARKAN NIAT KEPADA ALLAH S.W.T

SANDARKAN NIAT KEPADA ALLAH S.W.T

TIDAK SIA-SIA SESUATU MAKSUD APABILA DISANDARKAN KEPADA ALLAH S.W.T DAN TIDAK MUDAH TERCAPAI TUJUAN JIKA DISANDARKAN KEPADA DIRI SENDIRI.

Hikmat yang lalu menggambarkan keadaan hamba Allah s.w.t yang mempunyai maksud yang baik iaitu mahu mengubah dunia supaya menjadi tempat kehidupan yang sentosa, tetapi ternyata gagal melaksanakan maksudnya apabila dia bersandar kepada kekuatan dirinya sendiri. Allah s.w.t menyifatkan dunia sebagai tempat huru-hara dan kekeruhan. Sesiapa yang memasukinya pasti berjumpa dengan keadaan tersebut.

Kekuatan huru-hara dan kekeruhan yang ada pada dunia sangatlah kuat kerana Allah s.w.t yang meletakkan hukum kekuatan itu padanya. Percubaan untuk mengubah apa yang Allah s.w.t tentukan akan menjadi sia-sia. Allah s.w.t yang menetapkan sesuatu perkara, hanya Dia sahaja yang dapat mengubahnya.

Segala kekuatan, baik dan buruk, semuanya datang daripada-Nya. Oleh yang demikian jika mahu menghadapi sesuatu kekuatan yang datang dari-Nya mestilah juga dengan kekuatan-Nya. Kekuatan yang paling kuat bagi menghadapi kekuatan yang dipunyai oleh dunia ialah kekuatan berserah diri kepada Allah s.w.t. Kembalikan semua urusan kepada-Nya.

Rasulullah s.a.w telah memberi pengajaran dalam menghadapi bencana dengan ucapan dan penghayatan:


Kami datang dari Allah. Dan kepada Allah kami kembali.

Semua perkara datangnya dari Allah s.w.t dan akan kembali kepada Allah s.w.t juga. Misalnya, api yang dinyalakan, dari mana datangnya jika tidak dari Allah s.w.t dan ke mana perginya bila dipadamkan jika tidak kepada Allah s.w.t.

Apabila sesuatu maksud disandarkan kepada Allah s.w.t maka menjadi hak Allah s.w.t untuk melaksanakannya.

Nabi Adam a.s mempunyai maksud yang baik iaitu mahu menyebarkan agama Allah s.w.t di atas muka bumi ini dan menyandarkan maksud yang baik itu kepada Allah s.w.t dan Allah s.w.t menerima maksud tersebut.

Setelah Nabi Adam a.s wafat, maksud dan tujuan beliau a.s diteruskan. Allah s.w.t memerintahkan maksud tersebut dipikul oleh nabi-nabi yang lain sehingga kepada nabi terakhir iaitu Nabi Muhammad s.a.w.

Setelah Nabi Muhammad s.a.w wafat ia dipikul pula oleh para ulama yang menjadi pewaris nabi-nabi. Ia tidak akan berhenti selama ada orang yang menyeru kepada jalan Allah s.w.t.

Jika dipandang dari segi perjalanan pahala maka boleh dikatakan pahala yang diterima oleh Nabi Adam a.s kerana maksud baiknya berjalan terus selama agama Allah s.w.t berkembang dan selagi ada orang yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya ini.

Maksud menyerah diri kepada Allah s.w.t, bersandar kepada-Nya dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya mesti difahami dengan mendalam. Kita hendaklah memasang niat yang baik, dan beramal bersesuaian dengan makam kita. Allah s.w.t yang menggerakkan niat itu dan melaksanakan amal yang berkenaan.

Cara pelaksanaannya adalah hak mutlak Allah s.w.t. Kemungkinan kita tidak sempat melihat asas yang kita bina siap menjadi bangunan namun, kita yakin bangunan itu akan siap kerana Allah s.w.t mengambil hak pelaksanaannya. Maksud dan tujuan kita tetap akan menjadi kenyataan walaupun kita sudah memasuki liang lahad. Pada masa kita masih hidup kita hanya sempat meletakkan batu asas, namun pada ketika itu mata hati kita sudah dapat melihat bangunan yang akan siap.

Tidak ada jalan bagi seseorang hamba kecuali berserah diri kepada Tuannya. Semua penuh hikmat , sekiranya disambungkan akan membentuk satu landasan yang menuju satu arah iaitu berserah diri kepada Allah s.w.t. Hikmat-hikmat yang telah dipaparkan membicarakan soal pokok yang sama, disuluh dari berbagai-bagai sudut dan aspek supaya lebih jelas dan nyata bahawa hubungan sebenar seorang hamba dengan Tuhan ialah berserah diri, reda dengan lakuan-Nya.

Rasulullah s.a.w telah mewasiatkan kepada Ibnu Abbas r.a:

Apabila kamu bermohon, maka bermohonlah kepada Allah s.w.t. Apabila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah s.w.t. Dan, ketahuilah bahawa sekiranya sekalian makhluk saling bantu membantu kamu untuk memperolehi sesuatu yang tidak ditulis Allah s.w.t untuk kamu, pasti mereka tidak akan sanggup mengadakannya. Dan, sekiranya sekalian makhluk mahu memudaratkan kamu dengan sesuatu yang tidak ditulis Allah s.w.t buat kamu, nescaya mereka tidak sanggup berbuat demikian. Segala buku telah terlipat dan segala pena telah kering.