28.5.11

Hadith 40

Hadith

Hadits adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

Hadits berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.

Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits ialah apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah.

Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3]

Struktur Hadits

struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).

Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)

Sanad

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah

Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW

Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.

Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :

  • Keutuhan sanadnya
  • Jumlahnya
  • Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

Matan

Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:

"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah:

  • Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
  • Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Kategori Hadits

Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)

Berdasarkan ujung sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :

  • Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
  • Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
  • Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".

Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).

Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.

Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW

  • Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
  • Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
  • Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
  • Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
  • Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).

Berdasarkan jumlah penutur

Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.

  • Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang.
  • Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)

  • Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
    • Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
    • Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
    • Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.

Berdasarkan tingkat keaslian hadits

Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'

  • Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. Sanadnya bersambung;
    2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
    3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
  • Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
  • Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
  • Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.

Jenis-jenis lain

Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:

  • Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
  • Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya/jujur.
  • Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat)
  • Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
  • Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
  • Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
  • Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
  • Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang tepercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
  • Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya

Periwayat Hadits

Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim

  1. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
  2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
  3. Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H)
  4. Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)
  5. Sunan an-Nasa'i, disusun oleh an-Nasa'i (215-303 H)
  6. Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
  7. Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal
  8. Muwatta Malik, disusun oleh Imam Malik
  9. Sunan Darimi, Ad-Darimi

Periwayat Hadits yang diterima oleh Syi'ah

Muslim Syi'ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal.

Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:

  • Ushul al-Kafi
  • Al-Istibshar
  • Al-Tahdzib
  • Man La Yahduruhu al-Faqih

Pembentukan dan Sejarahnya

Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.

Masa Pembentukan Al Hadits

Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. periode ini dimulai sejak muhammad diangkat sebagai nabi dan rosul hingga wafatnya (610M-632 M)

Masa Penggalian

Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

Masa Penghimpunan

Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima Al Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu.

Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al Hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.

Masa Pendiwanan dan Penyusunan

Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in).

Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al Hadits abad 4 H.


Semasa Nabi Muhammad hidup, hadith adalah dilarang sehingga zaman pemerintahan Umayyah pada akhir kurun pertama ataupun awal kurun kedua hijrah. Khalifah Umar Abdul Aziz mengarahkan gabenornya Abu Bakar bin Hizam supaya mengumpul dan membukukan segala hadith Nabi Muhammad yang terdapat dalam catatan-catatan dan hafalan-hafalan yang dipastikan kesahihannya sebagai hadith Nabi Muhammad.

Sesiapa yang menolak hadith secara total secara tidak langsung menolak kerasulan Nabi Muhammad. Ini adalah fahaman atau pegangan yang salah dan penyelewengan yang menyesatkan. Hadith adalah sumber hukum kedua terbesar dalam Islam, di mana Quran adalah menjadi sumber perundangan utama yang menerangkan segala permasalahan dan hukum-hukum dalam Islam secara umum.

Hadith Nabi Muhammad diperlukan bagi mentafsir dan menghuraikan ayat-ayat umum itu supaya lebih jelas dan terperinci. Justeru, kita diperintahkan supaya mengikuti Nabi Muhammad dengan mengambil apa yang disampaikan oleh beliau.


Dalam surah an-Nisak, ayat 80 Allah menyatakan yang bermaksud:

‘Sesiapa yang mentaati rasul, sesungguhnya beliau mentaati Allah dan sesiapa yang berpaling (tidak mentaati rasul) maka Kami tidak mengutuskan kamu, wahai Muhammad, melainkan sebagai pengawal mereka’.

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad berkata:

‘Sesiapa yang menghayati sunnah saya, sesungguhnya beliau menyayangi saya dan sesiapa yang menyayangi saya akan bersama saya di dalam syurga’.


Bersuci dalam Islam

Taharah / Bersuci

1. Definisi :

i) Dari segi bahasa : Suci dan bersih
ii) Dari segi istilah syarak : Suci dan bersih daripada najis atau hadas.


2. Taharah ialah anak kunci dan syarat sah salat.

3. Hukum taharah ialah WAJIB di atas tiap-tiap mukallaf lelaki dan perempuan.

4. Dalil naqli tentang suruhan bersuci adalah sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam Surah al-Anfal, ayat 11 yang bermaksud : " Dan (ingatlah ketika) Dia menurunkan kepada kamu hujan daripada langit untuk mensucikan kamu dengannya... "

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda yang bermaksud : " Agama islam itu diasaskan di atas kebersihan "


5. Tujuan taharah ialah bagi membolehkan seseorang itu menunaikan solat dan ibadah-ibadah yang lain.

6. Hikmah disuruh melakukan taharah ialah kerana semua ibadah khusus yang kita lakukan itu adalah perbuatan mengadap dan menyembah Allah Ta'ala. Oleh itu untuk melakukannya, maka wajiblah berada di dalam keadaan suci sebagai mengagungkan kebesaran Allah s.w.t. .


7. Faedah melakukan taharah ialah supaya badan menjadi bersih, sihat dan terjauh daripada penyakit serta mendatangkan kegembiraan kepada orang yang melaksanakannya.

8. Syarat wajib taharah ialah :

· Islam

· Berakal

· Baligh

· Masuk waktu ( Untuk mendirikan solat fardhu ).

· Tidak lupa

· Tidak dipaksa

· Berhenti darah haid dan nifas

· Ada air atau debu tanah yang suci.

· Berdaya melakukannya mengikut kemampuan.

9. Taharah adalah sebagai bukti bahawa Islam amat mementingkan kebersihan dan kesucian.

10. Ahli fiqh bersepakat mengatakan harus bersuci dengan air yang suci (mutlaq) sebagaimana firman Allah yang bermaksudnya :

"Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa khabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih "


11. Selain itu, harus menggunakan kertas atau batu ketika beristinja' dan tanah atau debu tanah sebagai ganti air bagi mengharuskan solat yang dikenali sebagai tayammum.

12. Jelasnya, alat–alat untuk bersuci itu ada dua iaitu:

· Air mutlaq, iaitu air semata-mata tanpa disertakan dengan sesuatu tambahan atau sesuatu sifat. Air mutlaq ini terbahagi kepada beberapa bahagian:

o Air yang turun daripada langit. Ia terbahagi kepada tiga, iaitu air hujan, air salji yang menjadi cair dan air embun.

o Air yang terbit daripada bumi. Ia terbahagi kepada empat, iaitu air yang terbit daripada mata air, air perigi, air sungai dan air laut.


· Tanah, boleh menyucikan jika tidak digunakan untuk sesuatu fardhu dan tidak bercampur dengan sesuatu. Firman Allah yang bermaksud : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan berjunub), terkecuali sekadar berlalu sahaja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam bermusafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ”
(Surah Al-Nisa’, 4:43)



Jenis-jenis air


· Air Mutlak


· Air yang suci lagi menyucikan iyang kekal dengan sifat asal kejadiannya , boleh dibuat bersuci; boleh digunakan untuk berwuduk, bersuci najis, bersuci daripada hadas kecil dan besar, membasuh pakaian dan lain-lain.


· Air Musta'mal


air yang suci pada dirinya tetapi tidak menyucikan yang lain boleh diminum dan tidak boleh dibuat bersuci. musta'mal tidak boleh digunakan untuk berwuduk, bersuci najis, bersuci daripada hadas kecil dan besar, contoh air tebu , air kelapa


· Air Muqaiyad


air yang bercampur dengan sesuatu yang suci yang mengubah salah satu sifatnya sama ada dari segi warna, bau atau rasa yang menyebabkan air tersebut tidak dipanggil air mutlak lagi Suci tetapi tidak menyucikan, boleh diminum dan tidak boleh dibuat bersuci, Contoh: bercampur sirap kopi dan sebagainya


· Air Musyammas


air yang suci lagi menyucikan tetapi makruh menggunakannya. Musyammas ialah air yang disimpan di dalam bekas logam dan terdedah kepada panas matahari. Air yang sedang panas itu makruh hukumnya digunakan untuk berwuduk dan bersuci daripada hadas.


· Air Mutanajjis


air yang telah terjatuh najis ke dalamnya sehingga berubah warna, bau atau rasa walaupun jika dicampur hingga kadar dua kolahTidak suci, tidak boleh diminum dan tidak boleh dibuat bersuci.



Pembahagian Jenis Air


Air dari segi hukum terbahagi kepada tiga jenis, Iaitu:

1. Air yang suci dan boleh menyucikan benda lain. Ia terbahagi kepada dua:

a) Air Mutlaq:

· Air yang suci lagi menyucikan ialah air mutlaq yang kekal dengan sifat asal kejadiannya yang telah dijadikan oleh Allah s.w.t.

· Air tersebut masih dikatakan air mutlaq walaupun ia sudah berubah disebabkan lama terbiar , disebabkan tanah, lumut dan tempat bertakung atau tempat mengalirnya mengandungi belerang . Hal ini kerana air itu sukar untuk dielakkan daripada perkara tersebut .

· Dalil yang menunjukkan kesucian air mutlaq, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :

"Daripada Abu Hurairah r.a.h. katanya , seorang Badwi berdiri lalu terkencing di dalam masjid, kemudian para sahabat pergi mencegahnya . Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda, biarkan dia dan curahkanlah di atas air kencingnya setimba air . Sesungguhnya kamu disuruh untuk mempermudahkan bukan menyusahkan" .

· Perintah Rasulullah s.a.w. supaya menjiruskan air ke tempat air kencing tersebut adalah dalil yang menunjukkan bahawa air tersebut mempunyai sifat menyucikan.


b) Air Musyammas:

· iaitu air yang suci lagi menyucikan tetapi makruh menggunakannya.

· Air yang suci lagi menyucikan yang lain tetapi makruh digunakan pada tubuh badan tidak pada pakaian.

· Air Musyammas bermaksud air yang panas yang terdedah kepada cahaya matahari iaitu pada negeri-negeri yang beriklim panas yang mana ia boleh mendatangkan karat seperti besi, tin dan lain-lain yang mana ia memberi mudharat apabila terkena kulit atau tubuih badan menyebabkan ianya sopak, kusta dan sebagainya. Sebagaimana Sabda Rasullah s.a.w. yang bermaksud :-

"Dari Aisyah sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari maka telah bersabda Rasullah s.a.w kepadanya janganlah engkau berbuat demikian wahai Aisyah sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak." (Riwayat Baihaqi)


2. Air yang suci tetapi tidak boleh menyucikan benda lain. Ia terbahagi kepada dua:


a) Air Musta'amal:

Iaitu air yang suci pada dirinya tetapi tidak menyucikan yang lain yang mana maksudnya dengan perkataan air itu boleh diminum tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu.

· Yang dikatakan air Musta'amal pada mengangkatkan hadas ialah basuh kali yang pertama pada mandi atau wudhu' yang wajib dan sudah bercerai daripada anggota.

· Yang dikatakan air Musta'amal pada menghilangkan najis iaitu jika air itu tidak berubah dan tidak bertambah.

· Air daripada pokok-pokok dan air buah-buahan seperti daripada pucuk kelapa yang dibuat nira atau akar-akar kayu.


Air yang berubah ada dua cara :-

· Berubah dengan Taqdiri - Air yang berubah dengan Taqdiri iaitu air yang berubah hanya pada Taqdir sahaja yang tidak dapat dilihat akan perubahannya.

· Berubah dengan Hissi - Air yang berubah pada Hissi iaitu berubah air itu dengan sesuatu yang dapat dilihat akan perubahannya.

- Cara mentaqdirkan hukum air yang bercampur dengan sesuatu yang sama rupanya dengan seperti air mawar yang telah hilang bau, rasa dan warnanya.

- pada bau hendaklah ditaqdirkan dengan bau kemenyan Arab.
- pada rasa hendaklah ditaqdirkan dengan rasa delima.
- pada warna hendaklah ditaqdirkan dengan warna anggur.

Jika berubah dengan taqdir ini maka hukumnya air musta'amal dan jika tidak berubah dengan taqdir ini maka hukumnya air mutlak.


Air yang bercampur itu ada dua cara :-

· Majawir
Bercampur dengan cara Mujawir iaitu air yang berubah dengan sebab termasuk di dalamnya dengan sesuatu yang dapat dipisahkan daripada air, contohnya sebuah baldi yang penuh dengan air termasuk di dalamnya sebatang kayu cendana dan kayu itu boleh dipisahkan daripada air tersebut, maka hukum air itu ialah air mutlak.

· Mukhalit
Bercampur dengan cara Mukhalit iaitu benda yang masuk ke dalam air itu tidak dapat dipisahkan daripada air, contohnya sebuah baldi yang penuh dengan air maka termasuk ke dalamnya nila maka dihukumnya air Musta'amal.


b) Air Muqayyad:

· Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci yang mengubah salah satu sifatnya (warna, rasa dan bau) menyebabkan ia tidak dipanggil air mutlaq lagi seperti air yang dicampur dengan madu, sirap dan lain-lain.



3. Air yang najis atau mutanajjis, iaitu air yang terkena benda najis.

Ia terbahagi kepada dua:


a) Air yang sukatannya kurang dari dua kolah dan terkena benda najis kecuali yang dimaafkan, sama ada berubah sifat (warna, rasa dan bau) atau tidak.

b) Air yang sukatannya lebih dari dua kolah dan berubah sifat (warna, rasa dan bau) sama ada perubahan itu sedikit atau banyak.

Ukuran air dua kolah itu ialah sebagai berikut :-

1. Kalau dikira dengan tin minyak tanah, maka air dua kolah itu adalah sebanyak 13 tin

2. Kalau dikira dengan timbangan, maka berat air dua kolah itu adalah seberat 162.72 kg.

3. Kalau dikira dengan ukuran tempat empat persegi, maka air dua kolah itu memerlukan tempat yang berukuran 60 x 60 cm.




PENGERTIAN NAJIS

  • Dari segi bahasa, najis bererti benda kotor seperti darah, air kencing dan tahi.
  • Dari segi syara`, najis bermaksud segala kekotoran yang menghalang sahnya solat.


PEMBAHAGIAN NAJIS

  • Najis dari segi ‘ainnya terbahagi kepada dua:


1. Najis haqiqiyy,

iaitu benda kotor sama ada beku atau cair dan sama ada dapat dilihat atau tidak. Ia terbahagi kepada tiga:

i. Mukhaffafah (ringan), iaitu air kencing kanak-kanak lelaki yang tidak makan selain menyusu dan belum mencapai umur dua tahun.

ii. Mutawassitah (pertengahan), iaitu selain dari dua jenis di atas seperti darah, nanah, tahi dan sebagainya

iii. Mughallazah (berat), iaitu anjing, khinzir dan yang lahir daripada kedua-duanya atau salah satunya.

Semua bangkai binatang adalah najis kecuali ikan dan belalang. Kulit bangkai binatang menjadi suci apabila disamak kecuali kulit khinzir, anjing dan yang lahir daripada kedua-duanya atau salah satunya.


2. Najis hukmiyy,

iaitu kekotoran yang ada pada bahagian tubuh badan iaitu hadath kecil yang dapat dihilangkan dengan berwudhu’ dan hadath besar (janabah) yang dapat dihilangkan dengan mandi, atau tayammum apabila ketiadaan air atau uzur daripada menggunakan air.



NAJIS YANG DIMAAFKAN

Tiada sebarang najis yang dimaafkan. Walaupun begitu, syara` memberi kemaafan terhadap kadar benda najis yang sedikit yang sulit untuk dielakkan, begitu juga untuk memudahkan dan bertolak ansur kepada umatnya. Oleh yang demikian, najis-najis berikut adalah dimaafkan:

1. Najis yang tidak dapat dilihat oleh pandangan sederhana seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing.

2. Darah jerawat, darah bisul, darah kudis atau kurap dan nanah.

3. Darah binatang yang tidak mengalir darahnya seperti kutu, nyamuk, agas dan pijat.

4. Tempat berbekam, najis lalat, kencing tidak lawas, darah istihadhah, air kurap atau kudis.



CARA MENYUCI NAJIS

  • Cara menghilangkan najis ialah dengan beristinja’, membasuh dan menyamak.
  • Cara menyucikan najis haqiqiyy pula adalah seperti berikut:

1. Najis mughallazah (berat)

Hendaklah dihilangkan ‘ain najis itu terlebih dahulu, kemudian barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu daripadanya bercampur dengan tanah sehingga hilang sifatnya (warna, bau dan rasa).


2. Najis mutawassitah (pertengahan)

Hendaklah dihilangkan ‘ain najis itu terlebih dahulu, kemudian barulah dibasuh tempat kena najis dengan air sehingga hilang sifatnya (warna, bau dan rasa).


3. Najis mukhaffafah (ringan)

Hendaklah dihilangkan `ain najis itu terlebih dahulu, kemudian cukup sekadar direnjiskan atau dialirkan air ke atasnya.



PENGERTIAN ISTINJA’

  • Istinja’ bererti menghilangkan najis yang keluar dari qubul atau dubur dengan air atau batu atau benda keras yang seumpama batu serta suci, dapat menghilangkan najis dan tidak haram menggunakannya.


HUKUM ISTINJA’

  • Hukum istinja’ untuk menghilangkan najis adalah wajib.
  • Sunat beristinja’ dengan batu kemudian dibasuh dengan air.
  • Harus memilih untuk beristinja’ dengan hanya menggunakan air sahaja atau menggunakan sekurang-kurangnya tiga biji batu jika dapat menghilangkan najis. Walaubagaimanapun, lebih afdhal menggunakan air kerana air lebih berupaya dan berkesan untuk menghilangkan najis.
  • Jika menggunakan batu, diwajibkan menyapu dengan sekurang-kurangnya tiga biji batu atau tiga penjuru dari sebiji batu dengan syarat:

1. Najis yang hendak dibersihkan itu tidak kering.

2. Tidak merebak ke bahagian lain.

3. Tidak bercampur dengan najis yang lain.

· Sekiranya tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka hendaklah menggunakan air.


ADAB MEMBUANG AIR

1. Haram menghadap ke arah qiblat atau membelakanginya apabila membuang air di kawasan lapang. Walaubagaimanapun, disunatkan juga tidak menghadap atau membelakangi qiblat apabila membuang air di dalam bangunan seperti tandas atau apabila ada dinding atau tabir antara orang itu dengan qiblat.

2. Makruh membuang air di dalam air yang tidak mengalir atau di dalam air mengalir yang sedikit, tetapi jika air mengalir itu banyak, maka yang lebih baik dielakkan dari membuang ke dalamnya. Ini berdasarkan hadith riwayat Muslim yang bermaksud:

“Bahawa Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam menegah membuang air (kencing) di dalam air yang tidak mengalir.”

3. Makruh membuang air di bawah pokok buah-buahan sama ada ketika berbuah atau tidak.

4. Makruh membuang air di dalam lubang dan di celah rekahan tanah.

5. Makruh membuang air di jalan, di tempat teduh dan di dalam lubang yang bukan digali khas untuk membuang air.

6. Makruh bercakap ketika membuang air kecuali kerana sesuatu keperluan.

7. Makruh menghadap ke arah matahari atau bulan ketika membuang air.

8. Sunat berlindung daripada pandangan manusia.

9. Haram membawa bersama-sama sebarang benda yang ada catatan nama Allah, Al-Qur’an dan seumpamanya ketika membuang air.