26.5.10

yang kedua...

Semua usaha untuk menjelaskan pemaknaan kerja cinta dalam poligami, misalnya melalui konsep tim kehidupan, dengan cara bagaimana pun, tetap akan lebih mudah dimasukkan ke dalam akal ketimbang membuatnya diterima perasaan. Bagi semua perempuan, inilah perjuangan maha berat di alam perasaan.

Yang membuatnya berat di alam perasaan adalah fakta bahwa kebanyakan perempuan menemukan rasa percaya dirinya dari persepsi lingkungan terhadap dirinya, termasuk dari si suami.
Maka di alam perasaan mereka, para perempuan yang menjadi bagian dari sebuah keluarga poligami lebih sering dipersepsi sebagai korban cinta yang perlu dikasihani. Sebab mereka hanyalah perempuan2 lemah yang tidak punya pilihan lain. Jangan lupa... ada diantara mereka asalnya sangat membenci poligami tetapi kerana takdir mereka pasrah.


Rasanya tidak ada yang perlu diingkari dari fakta-fakta tentang persepsi itu. Sama seperti tidak ada yang perlu diingkari bahwa fakta-fakta tentang kebanyakan perempuan yang menjadi bagian dari keluarga poligami umumnya tidak punya pilihan lain memang merupakan fakta yang nyata. Tidak ada yang salah pada fakta-fakta itu. Mengakuinya juga bukan suatu kehinaan.

Tapi untuk sebagiannya itu merupakan penjelasan tentang mengapa banyak keluarga poligami tidak berhasil menjadi sebuah tim kehidupan yang solid dan efektif. Dan untuk sebagian yang lain menjelaskan mengapa kebanyakan perempuan tidak bersedia menjadi bagian dari keluarga poligami, bahkan ketika pilihan itu jauh lebih baik dari pilihan yang lain.


Sebuah tim kehidupan tidak akan dapat dibentuk dan menjadi solid dan efektif kecuali apabila semua anggota tim itu menyadari secara mendalam mengapa ia bergabung dalam tim tersebut. Maka menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat misalnya, ketika kita tidak lagi punya pilihan lain karena berbagai alasan, bisa manjadi faktor yang menyulitkan proses team building.

Mungkin bukan karena kita kekurangan cinta. Tapi lebih karena secara mental kita sering merasa tidak sepadan. Menikah dari rasa kasihan bukan tidak mungkin bertahan lama dan abadi. Tapi sering tidak cukup untuk membangun fondasi yang kokoh bagi seluruh hubungan jangka panjang yang sehat dan produktif.


Maka menjadi isteri pertama, kedua, dan seterusnya harus merupakan sebuah pilihan yang diambil secara sadar dan proaktif. Persis ketika Aisyah menyadari bahwa walaupun perawan, muda, cantik, cerdas, kaya, ia bukan yang pertama bagi Rasulullkah saw. Ia adalah yang ketiga setelah Khadijah dan Saudah.

Persis ketika ia juga menyadari bahwa walaupun berkali-kali Rasulullah saw mendeklarasikannya sebagai sebagai isteri yang paling dicintai, Rasulullah saw tetap saja menikah lagi sesudahnya. Kemudaan, kecantikan, kecerdasan, dan kekayaan adalah gabungan dari semua faktor yang membuat perempuan mempunyai banyak pilihan. Tapi Aisyah telah memilih secara sadar.

Persis ketika Rasulullah saw dengan sadar menikahi Khadijah yang janda dan lebih tua dari beliau. Mereka semua punya pilihan lain selain itu. Tapi mereka memilih pilihan ini. Sebagai pilihan terbaik mereka. Secara sadar. Sadar penuh. Maka mereka berkembang menjadi tim kehidupan yang solid, efektif dan produktif.


24.5.10

all .... i can do

it's hard to let go the past.....
i wish i can do it
all i can do...
endure the pain
and stay bright in front of people....

all i can do...
sit at the end of corner...
scream in my heart...
and crying all alone....
that's all

tentang KASIH SAYANG

KASIH SAYANG DARIKU BUKAN YANG TERINDAH,
TETAPI KU CUBA MENJADIKAN INSAN ITU MERASA INDAH.
KEIKHLASAN TAK MUNGKIN DILIHAT,NAMUN MAMPU DINILAI YANG BERHAK MENILAI.MOGA KEIKHLASAN ITU MILIK KITA

MANUSIA AKAN BERUSAHA UNTUK BERKORBAN PADA YANG DISAYANGI,
WALAU PAYAH.
IA TETAP AKAN BELAJAR.
KERANA BERKORBAN JUGA HARUS BELAJAR.
HATI TAKKAN TERIMA UNTUK BERKORBAN ANDAI TAK DIPAKSA.
MEMAKSA HATI ITULAH SATU PEMBELAJARAN

Tentang RINDU

Rindu ini bukan rindu uda dan dara,
Rindu ini tak sehebat Laila dan Majnun,
tetapi rindu ini hebat kerana sandaran Ilahi.
Rindu ini akan dibaja dengan ibadah,
Rindu ini ikatannya akidah
Rindu ini takkan kalah dek mehnah
Rindu ini mekar kerna percaya
Rindu yang'kaya' dan 'berjaya'
Rindulah wahai Sang Perindu
Rindulah pada berhak dirindu
Rindu yang pastinya membawa keredhaan dan bahagia

14.5.10

Sakit Sebagai Lahan Sabar dan Tafakur


Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)

Semoga Allah SWT yang menguasai tubuh kita memberikan karunia kesehatan lahir dan batin yang dapat disyukuri. Sebab ada saatnya sehat yang tidak disyukuri mengantarkan orang kepada maksiat. Kalaupun Allah memberikan ujian sakit, mudah-mudahan orang yang sakit itu bisa menyikapinya dengan sabar. Sebab, adakalanya orang yang sakit menjadi hina karena ketidaksabarannya dan orang yang sehat menjadi hina karena ketidaksyukurannya.

Allah berfirman dalam Alquran, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (Q.S. al-Ashr: 1-3).

Dari ayat di atas dapat kita lihat bahwa kata-kata “sabar” adalah kuncinya. Dalam ayat lain juga disebutkan tentang sabar seperti, “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.S. Albaqarah: 153).

Begitu pentingnya kesabaran sehingga pahala orang yang sabar bighayri hisaab, lewat dari perhitungan Allah (melampaui batas).

Kalau kita sadari, hidup sukses, menang mengarungi hidup, mendapatkan pertolongan Allah di kala sulit, dan kemampuan untuk akrab bersama-Nya, ternyata hanya dimiliki oleh orang-orang yang sabar. Maka sudah sepatutnya bagi kita untuk lebih serius lagi mengevaluasi kualitas kesabaran kita. Makin sabar kita, maka makin mantap kita menghadapi hidup ini.

Lalu, apa sebenarnya “sabar” itu? Sederhananya, sabar itu adalah kegigihan kita untuk tetap berada di jalan yang disukai oleh Allah.

Dalam tulisan berikut ini akan kita bahas kesabaran ketika kita sedang ditimpa sakit.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, Innalillahi wa inna ilaihi raaji`uun (Q.S. Albaqarah: 155-156).

Ayat di atas hendaknya menjadi tuntunan bagi kita ketika sedang ditimpa musibah, khususnya sakit.

Berprasangka baik kepada Allah

Ada beberapa akhlak sabar yang sebenarnya bisa kita latih saat kita sakit. Pertama-tama kita harus sabar dalam berprasangka baik kepada Allah. Dengan begini kita akan menyadari bahwa tubuh ini sebenarnya milik Allah bukan milik kita. Sedikit pun kita tak punya kuasa pada tubuh ini.

Karena kita sadar kalau tubuh ini bukan milik kita tetapi milik Allah, sehingga kuasa-Nya tak akan bisa dicegah oleh makhluk. Meski dokter-dokter diturunkan untuk menolong kita, tanpa kehendak-Nya, sakit yang kita alami tak akan sembuh-sembuh, betapapun gagahnya tubuh kita.

Namun, Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Sakit yang menimpa tubuh kita sudah pasti telah diukur oleh Allah. Sesakit apa pun derita yang kita alami pasti sudah diukur. Bahkan sampai yang “luar biasa” pun telah diukur oleh Allah. Tidak mungkin Allah memberikan kepada kita sesuatu yang tidak sanggup kita pikul. Karena yang menciptakan saraf sakit juga Allah yang Mahakuasa.

Maka yakinilah selalu bahwa setiap sakit yang kita derita pada hakikatnya sudah diukur oleh Allah. Karena itu, biasakanlah untuk selalu mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji`uun”, saya adalah milik Allah, Allah sangat mampu berbuat apa saja kepada diri ini. Karena, kalau saja tenggorokan ini milik kita, maka kita akan melarangnya untuk terbatuk-batuk. Kenyataannya, tetap saja tubuh ini milik Allah yang tidak bisa kita atur seenaknya.

Tidak berkeluh kesah

Akhlak kedua agar kita bisa bersabar ketika sakit adalah berusaha untuk tidak berkeluh kesah. Sebab keluh kesah termasuk tanda-tanda dari ketidaksabaran, Ngarasula kalau dalam bahasa Sunda. Sampai-sampai berucap begini, Auuhhh… aing ieu mah nyeri pisan (Aduh, ini sakit sekali rasanya). Alaahhh siah mamah ieu mah teu kuat, ngajeletotna kabina-bina (Aduh Mak, nggak kuat, sakitnya sakit sekali).

Biasanya, orang menderita itu bukan karena sakitnya, tapi karena dramatisasinya. Dan termasuk tidak sabar kalau kita ingin menceritakan sakit kita dan yang diceritakan itu lebih daripada kenyataan. Belum-belum berkata begini, “Aduuuhh, ieu, peurih…, peurih yeuh” (Aduuh, ini sakit sekali) Padahal sebenarnya biasa-biasa saja rasa sakitnya itu.

Kebiasaan mendramatisasi rasa sakit ini ternyata ada saja yang menyukainya. Entah mengapa, ada semacam kesenangan ketika melihat ada orang yang bersimpati padanya. Dia puas mengajak orang lain menderita. Padahal, ini pun termasuk dari sikap tidak sabar menghadapi sakit.

Oleh karena itu, betapa pun parahnya penyakit kita, cobalah untuk memproporsionalkannya. Tak usah kita sampai berteriak-teriak segala. Maka ketika kita sakit cobalah latihan sabar untuk tidak mendramatisasinya.

Kalau awalnya kita mengekspos ke mana-mana, maka ada baiknya mulai saat ini kita mengeluh dengan menyebut nama Allah. Seperti, “Yaa Allah, ya Rabb, ya Syafii….” Ucapan semacam ini jelas akan membawa manfaat dan pahala.

Untuk ibu-ibu yang akan melahirkan, misalnya, tak usah sampai menyebut-nyebut nama pendamping. Soalnya suami pun tidak bisa berbuat apa-apa saat itu, sampai berucap, “Papaahhh….” Kalau kemudian kita meninggal saat itu, bisa jadi tidak ada pahalanya. Na`udzubullahi min dzaliq. Lebih baik nama Allah saja yang disebut, seperti, “Ya Allah, ya syafii, ya ghafururrahiim, ya arhamar raahimiin, ya shabuur, ya arhamarraahimiin”. Insya Allah sakitnya akan diubah oleh Allah menjadi nikmat.

Di samping itu, jangan jadikan sakit kita itu membuat kita bermanja-manja dengan membebani orang lain. Selagi masih sanggup, jangan korbankan harga diri kita kecuali kalau orang itu senang membantu. Namun kalau kita sampai diharuskan bed rest (beristirahat di tempat tidur), maka, adalah suatu kezaliman pada diri sendiri bila kemudian kita memaksakan tubuh kita untuk bergerak.

Menafakuri hikmah sakit

Akhlak selanjutnya adalah sabar menafakuri hikmah sakit. Banyak hikmah ketika sakit yang sebenarnya bisa kita raup. Ambil contoh kecil, ketika kita sariawan. Bibir memang terasa tak enak, makan pun jadi tak enak. Tapi, bandingkanlah sakit kita dengan mereka yang lebih sulit lagi dari sariawan, yang lebih parah lagi sakitnya. Maka dari sini kita bisa menilai bahwa masih ada lagi orang yang lebih parah sakitnya daripada yang kita rasakan.

Bersabar dalam menafakuri hikmah sakit dapat pula berarti bersabar menjalani proses sakit yang kita alami. Salah satu hikmah sakit ialah gugurnya dosa bagaikan gugurnya daun-daun pepohonan. Dengan begitu, salah satu hikmah sakit yang bisa kita reguk ialah kesempatan kita untuk ber-muhasabah, mengintrospeksi diri, terutama terhadap sejumlah kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan.

Menyempurnakan ikhtiar untuk sembuh

Ada kalanya orang yang sakit terkadang tidak disiplin memakan obat. Ada orang yang harus ke dokter ini-itu tetapi terus mengeluh karena uangnya habis untuk berobat. Padahal tanpa disadarinya biaya itu pun pada dasarnya dari Allah. Ada juga yang bertahun-tahun terus mengeluh karena penyakit yang ia derita tidak sembuh-sembuh, padahal telah berobat ke sana-kemari.

Untuk menyikapinya, cobalah pakai “teori jeruk”. Gambarannya kurang lebih seperti ini, ada seorang ibu yang membeli jeruk sebanyak satu kilo. Ketika ia mencoba mencicipinya ternyata jeruk itu masam semua. Kemudian ia protes pada penjualnya dengan mengatakan, “Kok jeruknya asem semua?” Si penjual balik bertanya, “Ibu beli berapa kilo?” Ibu itu menjawab, “Tiga kilo saya beli!” Penjualnya lantas balik menjawab, “Ibu beli tiga kilo, saya tiga karung! asem semua.

Untuk itu bersabarlah, karena sakit juga akan menggugurkan dosa-dosa kita. Dalam sebuah hadis Bukhari diriwayatkan bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud r.a. menghampiri Rasulullah yang tengah sakit. Saat itu ia meraba tangan rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, penyakit Anda sangat berat.” Rasulullah memberikan jawaban, “Benar, penyakit saya ini sama dengan penyakit dua orang di antara kamu.” Abdullah menjawab lagi, “Itulah sebabnya Anda mendapat pahala dua kali lipat.” Segera Rasul membalas, “Benar!” Dan dilanjutkan dengan sabdanya lagi, “Setiap orang Islam yang mendapat bencana penyakit dan lain-lain, maka Tuhan menggugurkan (mengampuni) kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pohon kayu menggugurkan daunnya.

Tidak ada yang salah dengan sakit. Yang salah adalah sikap kita terhadapnya. Kalau kita rida, Wa man radhiya falahu ridha, barang siapa rida pada ketentuan Allah, Dia pun akan rida kepadanya.

Berniat untuk sembuh

Terakhir, kita harus terus ber-azam untuk berniat sembuh. Jangan sampai sakit menjadi alasan serta sarana untuk menggampang-gampangkan ibadah. Sabar untuk berniat sembuh akan memotivasi kita agar tidak menyerah pada rasa sakit. Perjuangan kita menjalani rasa sakit insya Allah dicatat sebagai jihad fii sabilillah. Justru di saat sakit itulah kita membuktikan ketaatan kita kepada Allah SWT.

Dengan selalu memancangkan niat untuk sembuh akan membuat diri kita benar-benar sembuh, tidak cuma sembuh secara fisik tapi juga sembuh dari sisi spiritual. Inilah yang sering kita sebut dengan sehat walafiat. Ukurannya adalah, ketika kita sembuh ibadah kita justru makin meningkat. Ini berarti kita telah mencapai kesembuhan secara afiat. Karena sakit justru telah menjadi sarana peningkatan ibadah dan inilah yang akan mengantarkan kita untuk lebih baik lagi dalam mengarungi hidup dengan penuh kesabaran. Wallahualam bishshawab.***

3.5.10

Adakah amal kita diterima Allah??


Tanda Diterima Amal

Siapa yang dapat merasakan buah dari amal ibadatnya di dunia ini, maka itu dapat dijadikan tanda diterimanya amal itu oleh Allah kelak.

Buah dari amal ibadat di dunia ini ialah merasakan lazat manisnya amal itu, sehingga terasa sebagai nikmat yang tidak ada bandingnya.


Atabah al-Ghulam berkata:

“Saya melatih diri sembahyang malam dua puluh tahun, setelah itu baru saya merasakan nikmat bangun malam”.


Tsabit al-Bunany ra. Berkata:

“Saya melatih membaca al-Quran dua puluh tahun, setelah itu baru saya merasakan nikmat membaca al-Quran”.


Abu Turaab berkata:

“Jika seseorang bersungguh-sungguh dalam niat amalnya, dapat merasakan nikmat amal itu sebelum mengerjakannya, dan apabila ikhlas dalam melakukannya merasakan manisnya amal ketika melakukannya, dan amal yang sedemikian sifatnya, itulah amal yang diterima dengan kurnia Allah”.


Al-Hasan berkata:

“Carilah manisnya amal itu pada tiga, maka apabila kamu telah mendapatkannya bergembiralah dan teruskan mencapai tujuanmu, apabila belum kamu dapatnya, ketahuilah bahawa pintu masih tertutup iaitu ketika membaca al-Quran, dan berzikir, dan ketika sujud”.


Ada pula yang menerangkan:

dan ketika bersedekah dan ketika bangun malam. Sejak bilakah kau merasakan telah mengenal Allah? Iaitu setiap kali saya akan berbuat pelanggaran terhadap ajaranNya, merasa malu daripadanya… Malukah kita bila berbuat maksiat!!!





Memahami makna Nusyuz


Isteri melakukan Nusyuz kepada Suami


“…Pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (dibalik itu) kebaikan yang banyak
(QS Al-Nisa' [4]: l9).

“…Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian
untuk mereka…”.
(QS. Al-Baqarah [2]: 187).


Dalam kelangsungan berumah tangga, pada sisi lain seringkali dijumpai berbagai persoalan suami istri. Suka dan duka senantiasa silih berganti dalam kehidupan keluarga. Sadar atau tidak perselisihan, pergaduhan seringkali terjadi dikarenakan latar belakang dan keterbatasan pengertian serta pengetahuan pada masing-masing diri suami atau istri.
Hal ini mewarnai dalam kehidupan berkeluarga

“Sangat senangkah kini mencari suami? kerana ramai isteri di metropolis yang menggugat mahu bercerai suaminya. Alasannya macam-macam. Misalnya, polah suami banyak, tapi penghasilan minima. Alasan lainnya, istri tidak sabaran dan suka menuntut. Yang utama, erosi cinta sudah melanda hati mereka. Fenomena istri yang kian berani menggugat cerai suami dilihat ada dimana mana.

Banyak alasan mengapa istri "lebih ingin" menceraikan suami daripada suami menceraikan istrinya. Yang paling tahu sejatinya ialah pasangan masing-masing. Namun, ada penyebab umum yang paling sering jadi pemicu tekad istri menggugat cerai suami.
Di antaranya, kian banyaknya istri yang menjadi wanita berkerjaya dan penghasilan istri lebih besar. Penyebab lainnya, istri tidak sabaran dan menuntut hal-hal yang melebihi kemampuan suaminya

Adalah suatu dambaan seorang isteri bila suami menunaikan kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya dan dia memperoleh hak-hak dari isteri yang telah Allah tetapkan untuknya. Begitu juga sebaliknya seorang isteri menjadi dambaan suami bila isteri juga menunaikan kewajiban dan memenuhi hak-hak suaminya.

Namun terkadang salah seorang dari pasangan suami isteri ataupun keduanya berbuat tidak menunaikan apa yang seharus ia tunaikan hingga kebahagiaan yang didambakannya hanya sebatas fatamorgana. Persoalan ini ditimbulkan oleh beberapa sebab, yakni mungkin datang dari pihak isteri atau dari pihak suami, pihak kerabat, orang luar atau karena faktor lain.

1. Sebab yang datang dari pihak istri, misalkan: Seorang istri sibuk berkarier di luar rumah hingga menelantarkan urusan rumah tangga bahkan suami pun tersia-siakan, atau Istri tidak mengetahui bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga, tidak mengerti hak dan kewajiban terhadap suami.

2. Sebab yang timbul dari pihak suami, misalnya, ia terlalu bakhil kepada keluarga, sangat emosional keras dan kaku dalam tindakan melangkah dan bertindak tanpa peduli dengan istri dan tidak berupaya memberi pemahaman atau mengajak bertukar pendapat dengan istri.

3. Sebab dari pihak keluarga isteri. Seperti wanita yang menikah dengan seorang laki-laki karena dipaksa oleh walinya, padahal ia tidak menyukai laki-laki tersebut sehingga ketika memasuki kehidupan rumah tangga, ia tidak bisa mentaati atau malah membencinya.

4. Sebab faktor lain. Seperti ada perbedaan kejiwaan dan akhlak antara suami isteri pada meningkatnya taraf kehidupan/ekonomi keluarga, menyimpang pemikiran salah seorang dari kedua atau sakit salah seorang dari mereka atau cacat sehingga menghalangi untuk menunaikan kewajibannya.


Dalam Islam persoalan tersebut, sudah digambarkan secara global dan jelas. Istilah yang muncul pada persoalan tersebut adalah ada kata Nusyuz.
Mari kita kaji bersama.


Memahami Nusyuz.

Istilah nusyuz adalah Bahasa Arab, perkataan asalnya ialah al-nasyzu bermaksud tempat yang tinggi. Perkataan nusyuz bererti berada di tempat yang tinggi. Isteri yang nusyuz ialah isteri yang ingkar kepada suaminya dan membangkitkan kemarahannya. Nusyuz suami apabila dia memukul isterinya atau bersikap dingin dan acuh tak acuh terhadapnya.
( Fairuz al-Abadi: Qamus al-Muhit, 678).

Kesesuaian pengertian ini dengan nusyuz isteri atau suami ialah isteri atau suami yang nusyuz meletakkan dirinya di tempat yang tinggi dengan ingkar kepada perintah Allah yang diwajibkan ke atasnya terhadap suami atau isterinya. Nusyuz ialah kedurhakaan dan meninggi diri wanita dari mematuhi apa yang diwajibkan Allah ke atas mereka, seperti taat kepada suami. Isteri menimbulkan kemarahan suami
(Al-Qurtubi: al-Jami` Li Ahkam al-Quran ibid 5:170 dan 71).

Perempuan nusyuz ialah perempuan yang meninggi diri daripada suaminya, meninggalkan perintahnya, menjauhkan diri daripadanya, mengelak diri dari suaminya, menyebabkan suaminya marah. (Ibn Katsir: Tafsir al-Quran al-Azim, 1: 492) .



Tanda isteri dianggap nusyuz.

Nusyuz isteri ditandai oleh dua perkara.
Pertama,
melalui perbuatan dengan menjauhkan diri, bermuka masam dan enggan ketika dipanggil. Semua ini berlaku setelah sebelumnya dia bersikap mesra.

Kedua
melalui perkataan seperti berinteraksi dengan suami dengan perkataan yang kasar, ia berlaku setelah sebelumnya dia bercakap lembut. (Wahbah al-Zuhaili: al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, 7:338).

Ada juga beberapa gambaran yang menandakan seorang isteri itu nusyuz :


1. Suami telah menyediakan rumah kediaman yang sesuai dengan keadaan suami, tiba-tiba isteri tidak mau berpindah ke rumah itu, atau isteri meninggalkan rumah tanpa izin si suami.

2. Apabila kedua suami tinggal di rumah kepunyaan isteri dengan izin isteri kemudian suatu masa isteri mengusir atau melarang suami memasuki rumah tersebut.

3. Apabila isteri bermuka masam atau pun ia memalingkan muka, berbicara kasar dan sebagainya sedangkan suami berkeadaan lemah lembut, bermanis muka dan sebagainya.


Kepada suami bila isteri mengalami nusyuz, maka apa yang dilakukannya ?

Dalam QS. An-Nisa [4]:34, Allah berfirman ; “ …perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, Maha Besar”.

Dari ayat tersebut ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh suami yakni Menasehati (bila masih tidak mau taat), maka selanjutnya suami memilih pisah ranjang (bila masih tidak taat lagi), selanjutnya suami bias memukulnya. Namun dalam memukul hendaknya menjauhi muka dan tempat-tempat lain yang menghawatirkan. Karena tujuan memukul adalah untuk memberi pelajaran dan bukan membinasakan.

Maka dari itu, mejaga keluarga yang utuh adalah sangat penting untuk mewujudkan keluarga yang sakinah. Jagalah dirimu, keluargamu dari kerusakan. Bukankah Nabi saw. mengajarkan kepada kita tentang keluarga?

Sebagaimana salah satu Hadits Nabi saw.:


Abu Dawud meriwayatkan dari Hujaim bin Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya, ia berkata : saya bertanya : “Wahai Rasulullah apakah hak seorang istri kita pada suaminya ? Sabdanya : “ hendaklah kau beri makan dia jika engkau makan, memberi pakaian kepadanya jika engkau berpakaian. Jangan kau pukul mukanya, jangan kau mengejeknya, dan jangan engkau meninggalkannya kecuali masih dalam serumah…”
( Fiqhu Sunah, Sayid Sabiq, alih bahasa Moh. Thalib, Al-Ma’arif, Bandung, jilid 7 hal. 31-32)



Nabi saw. bersabda :
“ Andaikan sujud kepada selain Allah itu boleh, pastilah saya suruh isteri sujud kepada suaminya”. (HR. Ahmad dai ‘Aisyah. Dan yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Abi Auf dalam Nail al-Authar, jilid 2, hal. 4490).


Hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon perlindungan serta petunjuk atas segala persoalan yang menimpa keluarga kita. Hanya Allah-lah tempat kita mengadu atas segala tatanan kehidupan manusia.


2.5.10

Hari ini dan masa lalu



Hari ini adalah masa lalu bagi masa yang akan datang. Begitu juga dengan masa yang akan datang akan menjadi masa lalu bagi masa yang akan datangnya lagi. Semuanya berjalan begitu cepat. Tak heran kiranya, bila kita hanya berpangku tangan dan tidak berbuat sesuatu apa, kita akan ditinggalkan oleh waktu yang terus berlari kencang di hadapan kita.


Masa yang sudah berlalu adalah masa yang tidak akan mungkin kembali dan tak akan pernah kembali lagi. Maka kita sebagai pelaku peristiwa dituntut untuk bersikap arif dan belajar memperbaiki apa yang sudah pernah kita lakukan pada masa lalu. Agar peristiwa pahit atau perbuatan salah yang pernah kita lakukan di masa lalu itu tidak akan pernah terjadi lagi pada masa-masa selanjutnya.


Bagaimana Kita Bila Bicara Mengenai CINTA pada-NYA...?





Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah, Yang Maha Agung dan Mulia menjumpaiku - yakni dalam tidurku - kemudian berfirman kepadaku, "Wahai Muhammad, katakanlah : "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mencintai-Mu, mencintai siapa saja yang mencintai-Mu, serta mencintai perbuatan yang mengantarkan aku untuk mencintai-Mu."

Dalam amal ubudiyah, cinta (mahabbah) menempati derajat yang paling tinggi. Mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah melaksanakan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, disertai luapan kalbu yang dipenuhi rasa cinta.

Pada mulanya, perjalanan cinta seorang hamba menapaki derajat mencintai Allah. Namun pada akhir perjalanan ruhaninya, sang hamba mendapatkan derajat wahana yang dicintaiNya



Ya Allah, jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu,
agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu.

Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,
jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu

Ya Allah, jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu,
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta

Ya Rabbana, jika aku jatuh hati,
jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling pada hati-Mu.

Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu,
rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.

Ya Allah, jika aku rindu,
jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu.

Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu.

Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu.

Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,
jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada-Mu.

Ya Allah Engaku mengetahui bahawa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa pada taat pada-Mu,telah bersatu dalam dakwah pada-MU,telah berpadu dalam membela syariat-Mu.
Kukuhkanlah Ya Allah ikatannya.
Kekalkanlah cintanya.
Tunjukilah jalan-jalannya.
Penuhilah hati-hati ini dengan Nur-Mu yang tiada pernah pudar.
Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal di jalan-Mu.


Demikian juga dg Yahya bin Mu’adz bila bicara mengenai kerinduan kepada-Nya;

“Seandainya akal dapat melihat hiburan surga melalui mata imannya, niscaya akan leburlah jiwa ini karena rindu kepadaNya. Seandainya hati dapat mengetahui eksistensi kecintaan ini kepada Khaliqnya, niscaya akan terlepaslah semua sendi-sendinya karena tergila-gila kepadaNya dan niscaya akan terbanglah ruh ini dari badannya karena terkejut ingin menghadap kepada-Nya.” [Yahya bin Mu'adz]


Bagaimana dengan kita bila bicara mengenai cinta pada-Nya...?


“I reached every possible place for shahadah, but it was written in my fate that I should die on my bed. In my opinion there is no deed dearer than my waiting with my horse and shield in darkness of night, the sky to be glittering due to the rain, waiting for the onset of down, so I can attack the enemy”
- Khalid Bin Walid. R.A