Semua usaha untuk menjelaskan pemaknaan kerja cinta dalam poligami, misalnya melalui konsep tim kehidupan, dengan cara bagaimana pun, tetap akan lebih mudah dimasukkan ke dalam akal ketimbang membuatnya diterima perasaan. Bagi semua perempuan, inilah perjuangan maha berat di alam perasaan.
Yang membuatnya berat di alam perasaan adalah fakta bahwa kebanyakan perempuan menemukan rasa percaya dirinya dari persepsi lingkungan terhadap dirinya, termasuk dari si suami.
Maka di alam perasaan mereka, para perempuan yang menjadi bagian dari sebuah keluarga poligami lebih sering dipersepsi sebagai korban cinta yang perlu dikasihani. Sebab mereka hanyalah perempuan2 lemah yang tidak punya pilihan lain. Jangan lupa... ada diantara mereka asalnya sangat membenci poligami tetapi kerana takdir mereka pasrah.
Rasanya tidak ada yang perlu diingkari dari fakta-fakta tentang persepsi itu. Sama seperti tidak ada yang perlu diingkari bahwa fakta-fakta tentang kebanyakan perempuan yang menjadi bagian dari keluarga poligami umumnya tidak punya pilihan lain memang merupakan fakta yang nyata. Tidak ada yang salah pada fakta-fakta itu. Mengakuinya juga bukan suatu kehinaan.
Tapi untuk sebagiannya itu merupakan penjelasan tentang mengapa banyak keluarga poligami tidak berhasil menjadi sebuah tim kehidupan yang solid dan efektif. Dan untuk sebagian yang lain menjelaskan mengapa kebanyakan perempuan tidak bersedia menjadi bagian dari keluarga poligami, bahkan ketika pilihan itu jauh lebih baik dari pilihan yang lain.
Sebuah tim kehidupan tidak akan dapat dibentuk dan menjadi solid dan efektif kecuali apabila semua anggota tim itu menyadari secara mendalam mengapa ia bergabung dalam tim tersebut. Maka menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat misalnya, ketika kita tidak lagi punya pilihan lain karena berbagai alasan, bisa manjadi faktor yang menyulitkan proses team building.
Mungkin bukan karena kita kekurangan cinta. Tapi lebih karena secara mental kita sering merasa tidak sepadan. Menikah dari rasa kasihan bukan tidak mungkin bertahan lama dan abadi. Tapi sering tidak cukup untuk membangun fondasi yang kokoh bagi seluruh hubungan jangka panjang yang sehat dan produktif.
Maka menjadi isteri pertama, kedua, dan seterusnya harus merupakan sebuah pilihan yang diambil secara sadar dan proaktif. Persis ketika Aisyah menyadari bahwa walaupun perawan, muda, cantik, cerdas, kaya, ia bukan yang pertama bagi Rasulullkah saw. Ia adalah yang ketiga setelah Khadijah dan Saudah.
Persis ketika ia juga menyadari bahwa walaupun berkali-kali Rasulullah saw mendeklarasikannya sebagai sebagai isteri yang paling dicintai, Rasulullah saw tetap saja menikah lagi sesudahnya. Kemudaan, kecantikan, kecerdasan, dan kekayaan adalah gabungan dari semua faktor yang membuat perempuan mempunyai banyak pilihan. Tapi Aisyah telah memilih secara sadar.
Persis ketika Rasulullah saw dengan sadar menikahi Khadijah yang janda dan lebih tua dari beliau. Mereka semua punya pilihan lain selain itu. Tapi mereka memilih pilihan ini. Sebagai pilihan terbaik mereka. Secara sadar. Sadar penuh. Maka mereka berkembang menjadi tim kehidupan yang solid, efektif dan produktif.
Yang membuatnya berat di alam perasaan adalah fakta bahwa kebanyakan perempuan menemukan rasa percaya dirinya dari persepsi lingkungan terhadap dirinya, termasuk dari si suami.
Maka di alam perasaan mereka, para perempuan yang menjadi bagian dari sebuah keluarga poligami lebih sering dipersepsi sebagai korban cinta yang perlu dikasihani. Sebab mereka hanyalah perempuan2 lemah yang tidak punya pilihan lain. Jangan lupa... ada diantara mereka asalnya sangat membenci poligami tetapi kerana takdir mereka pasrah.
Rasanya tidak ada yang perlu diingkari dari fakta-fakta tentang persepsi itu. Sama seperti tidak ada yang perlu diingkari bahwa fakta-fakta tentang kebanyakan perempuan yang menjadi bagian dari keluarga poligami umumnya tidak punya pilihan lain memang merupakan fakta yang nyata. Tidak ada yang salah pada fakta-fakta itu. Mengakuinya juga bukan suatu kehinaan.
Tapi untuk sebagiannya itu merupakan penjelasan tentang mengapa banyak keluarga poligami tidak berhasil menjadi sebuah tim kehidupan yang solid dan efektif. Dan untuk sebagian yang lain menjelaskan mengapa kebanyakan perempuan tidak bersedia menjadi bagian dari keluarga poligami, bahkan ketika pilihan itu jauh lebih baik dari pilihan yang lain.
Sebuah tim kehidupan tidak akan dapat dibentuk dan menjadi solid dan efektif kecuali apabila semua anggota tim itu menyadari secara mendalam mengapa ia bergabung dalam tim tersebut. Maka menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat misalnya, ketika kita tidak lagi punya pilihan lain karena berbagai alasan, bisa manjadi faktor yang menyulitkan proses team building.
Mungkin bukan karena kita kekurangan cinta. Tapi lebih karena secara mental kita sering merasa tidak sepadan. Menikah dari rasa kasihan bukan tidak mungkin bertahan lama dan abadi. Tapi sering tidak cukup untuk membangun fondasi yang kokoh bagi seluruh hubungan jangka panjang yang sehat dan produktif.
Maka menjadi isteri pertama, kedua, dan seterusnya harus merupakan sebuah pilihan yang diambil secara sadar dan proaktif. Persis ketika Aisyah menyadari bahwa walaupun perawan, muda, cantik, cerdas, kaya, ia bukan yang pertama bagi Rasulullkah saw. Ia adalah yang ketiga setelah Khadijah dan Saudah.
Persis ketika ia juga menyadari bahwa walaupun berkali-kali Rasulullah saw mendeklarasikannya sebagai sebagai isteri yang paling dicintai, Rasulullah saw tetap saja menikah lagi sesudahnya. Kemudaan, kecantikan, kecerdasan, dan kekayaan adalah gabungan dari semua faktor yang membuat perempuan mempunyai banyak pilihan. Tapi Aisyah telah memilih secara sadar.
Persis ketika Rasulullah saw dengan sadar menikahi Khadijah yang janda dan lebih tua dari beliau. Mereka semua punya pilihan lain selain itu. Tapi mereka memilih pilihan ini. Sebagai pilihan terbaik mereka. Secara sadar. Sadar penuh. Maka mereka berkembang menjadi tim kehidupan yang solid, efektif dan produktif.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan