14.5.10

Sakit Sebagai Lahan Sabar dan Tafakur


Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)

Semoga Allah SWT yang menguasai tubuh kita memberikan karunia kesehatan lahir dan batin yang dapat disyukuri. Sebab ada saatnya sehat yang tidak disyukuri mengantarkan orang kepada maksiat. Kalaupun Allah memberikan ujian sakit, mudah-mudahan orang yang sakit itu bisa menyikapinya dengan sabar. Sebab, adakalanya orang yang sakit menjadi hina karena ketidaksabarannya dan orang yang sehat menjadi hina karena ketidaksyukurannya.

Allah berfirman dalam Alquran, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (Q.S. al-Ashr: 1-3).

Dari ayat di atas dapat kita lihat bahwa kata-kata “sabar” adalah kuncinya. Dalam ayat lain juga disebutkan tentang sabar seperti, “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.S. Albaqarah: 153).

Begitu pentingnya kesabaran sehingga pahala orang yang sabar bighayri hisaab, lewat dari perhitungan Allah (melampaui batas).

Kalau kita sadari, hidup sukses, menang mengarungi hidup, mendapatkan pertolongan Allah di kala sulit, dan kemampuan untuk akrab bersama-Nya, ternyata hanya dimiliki oleh orang-orang yang sabar. Maka sudah sepatutnya bagi kita untuk lebih serius lagi mengevaluasi kualitas kesabaran kita. Makin sabar kita, maka makin mantap kita menghadapi hidup ini.

Lalu, apa sebenarnya “sabar” itu? Sederhananya, sabar itu adalah kegigihan kita untuk tetap berada di jalan yang disukai oleh Allah.

Dalam tulisan berikut ini akan kita bahas kesabaran ketika kita sedang ditimpa sakit.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, Innalillahi wa inna ilaihi raaji`uun (Q.S. Albaqarah: 155-156).

Ayat di atas hendaknya menjadi tuntunan bagi kita ketika sedang ditimpa musibah, khususnya sakit.

Berprasangka baik kepada Allah

Ada beberapa akhlak sabar yang sebenarnya bisa kita latih saat kita sakit. Pertama-tama kita harus sabar dalam berprasangka baik kepada Allah. Dengan begini kita akan menyadari bahwa tubuh ini sebenarnya milik Allah bukan milik kita. Sedikit pun kita tak punya kuasa pada tubuh ini.

Karena kita sadar kalau tubuh ini bukan milik kita tetapi milik Allah, sehingga kuasa-Nya tak akan bisa dicegah oleh makhluk. Meski dokter-dokter diturunkan untuk menolong kita, tanpa kehendak-Nya, sakit yang kita alami tak akan sembuh-sembuh, betapapun gagahnya tubuh kita.

Namun, Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Sakit yang menimpa tubuh kita sudah pasti telah diukur oleh Allah. Sesakit apa pun derita yang kita alami pasti sudah diukur. Bahkan sampai yang “luar biasa” pun telah diukur oleh Allah. Tidak mungkin Allah memberikan kepada kita sesuatu yang tidak sanggup kita pikul. Karena yang menciptakan saraf sakit juga Allah yang Mahakuasa.

Maka yakinilah selalu bahwa setiap sakit yang kita derita pada hakikatnya sudah diukur oleh Allah. Karena itu, biasakanlah untuk selalu mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji`uun”, saya adalah milik Allah, Allah sangat mampu berbuat apa saja kepada diri ini. Karena, kalau saja tenggorokan ini milik kita, maka kita akan melarangnya untuk terbatuk-batuk. Kenyataannya, tetap saja tubuh ini milik Allah yang tidak bisa kita atur seenaknya.

Tidak berkeluh kesah

Akhlak kedua agar kita bisa bersabar ketika sakit adalah berusaha untuk tidak berkeluh kesah. Sebab keluh kesah termasuk tanda-tanda dari ketidaksabaran, Ngarasula kalau dalam bahasa Sunda. Sampai-sampai berucap begini, Auuhhh… aing ieu mah nyeri pisan (Aduh, ini sakit sekali rasanya). Alaahhh siah mamah ieu mah teu kuat, ngajeletotna kabina-bina (Aduh Mak, nggak kuat, sakitnya sakit sekali).

Biasanya, orang menderita itu bukan karena sakitnya, tapi karena dramatisasinya. Dan termasuk tidak sabar kalau kita ingin menceritakan sakit kita dan yang diceritakan itu lebih daripada kenyataan. Belum-belum berkata begini, “Aduuuhh, ieu, peurih…, peurih yeuh” (Aduuh, ini sakit sekali) Padahal sebenarnya biasa-biasa saja rasa sakitnya itu.

Kebiasaan mendramatisasi rasa sakit ini ternyata ada saja yang menyukainya. Entah mengapa, ada semacam kesenangan ketika melihat ada orang yang bersimpati padanya. Dia puas mengajak orang lain menderita. Padahal, ini pun termasuk dari sikap tidak sabar menghadapi sakit.

Oleh karena itu, betapa pun parahnya penyakit kita, cobalah untuk memproporsionalkannya. Tak usah kita sampai berteriak-teriak segala. Maka ketika kita sakit cobalah latihan sabar untuk tidak mendramatisasinya.

Kalau awalnya kita mengekspos ke mana-mana, maka ada baiknya mulai saat ini kita mengeluh dengan menyebut nama Allah. Seperti, “Yaa Allah, ya Rabb, ya Syafii….” Ucapan semacam ini jelas akan membawa manfaat dan pahala.

Untuk ibu-ibu yang akan melahirkan, misalnya, tak usah sampai menyebut-nyebut nama pendamping. Soalnya suami pun tidak bisa berbuat apa-apa saat itu, sampai berucap, “Papaahhh….” Kalau kemudian kita meninggal saat itu, bisa jadi tidak ada pahalanya. Na`udzubullahi min dzaliq. Lebih baik nama Allah saja yang disebut, seperti, “Ya Allah, ya syafii, ya ghafururrahiim, ya arhamar raahimiin, ya shabuur, ya arhamarraahimiin”. Insya Allah sakitnya akan diubah oleh Allah menjadi nikmat.

Di samping itu, jangan jadikan sakit kita itu membuat kita bermanja-manja dengan membebani orang lain. Selagi masih sanggup, jangan korbankan harga diri kita kecuali kalau orang itu senang membantu. Namun kalau kita sampai diharuskan bed rest (beristirahat di tempat tidur), maka, adalah suatu kezaliman pada diri sendiri bila kemudian kita memaksakan tubuh kita untuk bergerak.

Menafakuri hikmah sakit

Akhlak selanjutnya adalah sabar menafakuri hikmah sakit. Banyak hikmah ketika sakit yang sebenarnya bisa kita raup. Ambil contoh kecil, ketika kita sariawan. Bibir memang terasa tak enak, makan pun jadi tak enak. Tapi, bandingkanlah sakit kita dengan mereka yang lebih sulit lagi dari sariawan, yang lebih parah lagi sakitnya. Maka dari sini kita bisa menilai bahwa masih ada lagi orang yang lebih parah sakitnya daripada yang kita rasakan.

Bersabar dalam menafakuri hikmah sakit dapat pula berarti bersabar menjalani proses sakit yang kita alami. Salah satu hikmah sakit ialah gugurnya dosa bagaikan gugurnya daun-daun pepohonan. Dengan begitu, salah satu hikmah sakit yang bisa kita reguk ialah kesempatan kita untuk ber-muhasabah, mengintrospeksi diri, terutama terhadap sejumlah kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan.

Menyempurnakan ikhtiar untuk sembuh

Ada kalanya orang yang sakit terkadang tidak disiplin memakan obat. Ada orang yang harus ke dokter ini-itu tetapi terus mengeluh karena uangnya habis untuk berobat. Padahal tanpa disadarinya biaya itu pun pada dasarnya dari Allah. Ada juga yang bertahun-tahun terus mengeluh karena penyakit yang ia derita tidak sembuh-sembuh, padahal telah berobat ke sana-kemari.

Untuk menyikapinya, cobalah pakai “teori jeruk”. Gambarannya kurang lebih seperti ini, ada seorang ibu yang membeli jeruk sebanyak satu kilo. Ketika ia mencoba mencicipinya ternyata jeruk itu masam semua. Kemudian ia protes pada penjualnya dengan mengatakan, “Kok jeruknya asem semua?” Si penjual balik bertanya, “Ibu beli berapa kilo?” Ibu itu menjawab, “Tiga kilo saya beli!” Penjualnya lantas balik menjawab, “Ibu beli tiga kilo, saya tiga karung! asem semua.

Untuk itu bersabarlah, karena sakit juga akan menggugurkan dosa-dosa kita. Dalam sebuah hadis Bukhari diriwayatkan bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud r.a. menghampiri Rasulullah yang tengah sakit. Saat itu ia meraba tangan rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, penyakit Anda sangat berat.” Rasulullah memberikan jawaban, “Benar, penyakit saya ini sama dengan penyakit dua orang di antara kamu.” Abdullah menjawab lagi, “Itulah sebabnya Anda mendapat pahala dua kali lipat.” Segera Rasul membalas, “Benar!” Dan dilanjutkan dengan sabdanya lagi, “Setiap orang Islam yang mendapat bencana penyakit dan lain-lain, maka Tuhan menggugurkan (mengampuni) kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pohon kayu menggugurkan daunnya.

Tidak ada yang salah dengan sakit. Yang salah adalah sikap kita terhadapnya. Kalau kita rida, Wa man radhiya falahu ridha, barang siapa rida pada ketentuan Allah, Dia pun akan rida kepadanya.

Berniat untuk sembuh

Terakhir, kita harus terus ber-azam untuk berniat sembuh. Jangan sampai sakit menjadi alasan serta sarana untuk menggampang-gampangkan ibadah. Sabar untuk berniat sembuh akan memotivasi kita agar tidak menyerah pada rasa sakit. Perjuangan kita menjalani rasa sakit insya Allah dicatat sebagai jihad fii sabilillah. Justru di saat sakit itulah kita membuktikan ketaatan kita kepada Allah SWT.

Dengan selalu memancangkan niat untuk sembuh akan membuat diri kita benar-benar sembuh, tidak cuma sembuh secara fisik tapi juga sembuh dari sisi spiritual. Inilah yang sering kita sebut dengan sehat walafiat. Ukurannya adalah, ketika kita sembuh ibadah kita justru makin meningkat. Ini berarti kita telah mencapai kesembuhan secara afiat. Karena sakit justru telah menjadi sarana peningkatan ibadah dan inilah yang akan mengantarkan kita untuk lebih baik lagi dalam mengarungi hidup dengan penuh kesabaran. Wallahualam bishshawab.***

Tiada ulasan: