31.12.09

Hadis pilihan

Telah bersabda Rasulullah sallallahalaihi wassallam.

Dua kalimat ringan diucapkan lidah, berat dalam timbagan dan disukai oleh (Allah) Arrohman, iaitu kalimat "Subhanallah wabi hamdihi, subhanallahil 'adzim. " ( Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya, Maha Suci Allah yang Maha Agung).
(HR. Bukhari)




Telah bersabda Rasulullah sallallahalaihi wassallam.

Ada empat perkara, barangsiapa memilikinya Allah akan membangun untuknya rumah di surga, dan dia dalam naungan cahaya Allah yang Maha Agung. Apabila pegangan teguhnya, 'Laailaha illallah'. Jika memperoleh kebaikan dia mengucapkan 'Alhamdulillah' dan jika berbuat salah (dosa) dia mengucapkan 'Astaghfirullah' dan jika ditimpa musibah dia berkata,
'Inna lillahi wainna ilaihi roji'uun.'
(HR. Adailami)

kenapa tidak boleh menyambut tahun baru?


Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.

Dalam membentuk kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar kalender baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis boleh menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.

Sebelum Caesar mati dibunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, iaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Oleh itu perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Kenapa tidak boleh merayakan tahun baru?

Hukum menyambut perayaan terbagi menjadi dua:

1.Perayaan yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala

2. Perayaan yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bermaksud :
“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir. Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.”
Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
“Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?”
Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“

Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir . Beliau bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”



28.12.09

Apakah ciri-ciri seorang sahabat yang baik?


Pesanan al-Qamah (seorang sahabat Rasulullah SAW) kepada anaknya dalam hal memilih sahabat,

“Wahai anakku, sekiranya engkau berasa perlu untuk bersahabat dengan seseorang, maka hendaklah engkau memilih orang yang sifatnya seperti berikut.”

1 - Pilihlah sahabat yang suka melindungi sahabatnya, dia adalah hiasan diri kita dan jika kita dalam kekurangan nafkah, dia suka mencukupi keperluan.

2 – Pilihlah seorang sahabat yang apabila engkau menghulurkan tangan untuk memberikan jasa baik atau bantuanmu, dia suka menerima dengan rasa terharu, jikalau ia melihat kebaikan yang ada pada dirimu, dia suka menghitung-hitungkan (menyebutnya).

3 – Pilihlah seorang sahabat yang apabila engkau menghulurkan tangan untuk memberikan jasa baik atau bantuanmu, ia suka menerima dengan rasa terharu dan dianggap sangat berguna, dan jika ia mengetahui mengenai keburukkan dirimu ia suka menutupinya.

4 – Pilihlah sahabat yang jikalau engkau meminta sesuatu daripadanya, pasti ia memberi, jikalau engkau diam, dia mula menyapamu dulu dan jika ada sesuatu kesukaran dan kesedihan yang menimpa dirimu, dia suka membantu dan meringankanmu serta menghiburkanmu.

5 – Pilihlah sahabat yang jikalau engkau berkata, ia suka membenarkan ucapan dan bukan selalu mempercayainya saja. Jikalau engkau mengemukakan sesuatu persoalan yang berat dia suka mengusahakannya dan jika engkau berselisih dengannya, dia suka mengalah untuk kepentinganmu.

Hukum Ruqyah, Cara, dan Bacaannya


Jampi/mentera dalam Islam dikenal ‘RUQIYAH’, iaitu satu cara untuk mengusir jin dan segala macam gangguannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran Al-Karim. Bagi jin yang mengganggu dan jahat, bacaan Al-Quran terutama pada ayat tertentu yang dibaca dengan baik dan benar oleh orang yang sholeh dan bersih imannya, akan sangat ditakuti. Mereka akan merasakan panas yang membakar dan keluar dari tubuh pesakit.

Kerana itu bila orang yang memahami tentang jin itu menggunakan Ruqyah seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW secara benar, maka hukumnya harus dalam Islam.

Tetapi bila orang itu menggunakan cara-cara yang menyimpang, apalagi dengan melanggar syariat dan aqidah, tidak boleh dilakukan. Kerana tujuan jin ketika mengganggu manusia tidak lain adalah untuk menyesatkan manusia agar syirik kepada Allah.

Contohnya, bila sesaorang ( dukun/ bomoh ) itu menghalau jin dan meminta sajian, minta bunga buangaan, atau dikorban- kan haiwan sembelihan sebagai balasan, itulah syirik yang sangat sesat dan bertentangan dengan syariat dan hukum Allah.

Pada dasarnya bila dibacakan Ruqiyah, jin itu sangat takut dan tidak berani meminta itu danminta ini itu. Kerana pembacaan ayat-ayat Al-quran itu membuatnya kesakitan yang sangat, sehingga dalam proses Ruqyah, tidak ada permintaan dari jin kecuali harus pergi dan berhenti dari menganggu manusia.

Kerana itu pastikan bahawa orang yang anda minta bantuannya adalah seorang muslim yang soleh, mengerti ajaran syariah dengan benar, kuat aqidahnya, benar ibadahnya, lurus fikrahnnya dan yang penting diperhatikan, dia hendaknya punya pengalaman sebelumnya dalam menghadapi jin, agar mengenal tipu daya dan trik-trik yang digunakan jin untuk berpura-pura pergi padahal tidak dan sebagainya.

Nabi SAW bersabda: ” Tidak apa-apa ruqyah itu selama tidak mengandung syirik” (HR Muslim).

Beliau SAW juga bersabda: “Barangsiapa menggantungkan sesuatu, maka dirinya akan diserahkan kepadanya” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud dan Al-Hakim).

Agar pelaksanaan ruqyah tersebut sesuai dengan syariah islamiah maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:

  • Bacaan rukyah berupa ayat-ayat Alqur‘an dan Hadits dari Rasulullah saw.
  • Do‘a yang dibacakan jelas dan diketahui maknanya.
  • Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah SWT.
  • Tidak isti‘anah dengan jin ( atau yang lainnya selain Allah).
  • Tidak menggunakan benda-benda yang menimbulkan syubhat dan syirik.
  • Cara pengobatan harus sesuai dengan nilai-nilai Syari‘ah.
  • Orang yang melakukan terapi harus memiliki kebersihan aqidah, akhlak yang terpuji dan istiqomah dalam ibadah.

Ruqyah : Cara Dan Bacaannya

‘RUQIYAH’, dalam prakteknya adalah satu cara untuk mengusir jin dan segala macam gangguannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem. Bagi jin yang mengganggu dan jahat bila dibacakan ayat Al-Quran, terutama pada ayat tertentu yang dibaca dengan baik dan benar oleh orang yang soleh dan bersih imannya, akan sangat ditakuti oleh jin. Mereka akan merasakan panas yang membakar dan keluar dari menganggu sipesakit

Di antaranya yang paling sering digunakan adalah ayat kursi, beberapa petikan ayat dalam surah Al-Baqarah (tiga ayat terakhir), Surat Ali Imron, Surat Yasin, Surat Al-Jin, surat Al-Falaq dan Surat An-Naas. Selain itu masih banyak ayat dan doa-doa lainnya yang diriwayatkan kepada kita untuk dibacakan kepada orang yang kesurupan.

Pada dasarnya bila dibacakan Ruqiyah, jin itu sangat takut kerana pembacaan ayat-ayat Al-quran itu membuatnya kesakitan yang sangat, sehingga dalam proses Ruqyah, tidak ada permintaan dari jin kecuali harus pergi dan berhenti dari menganggu manusia. Ruqyah adalah salah satu cara untuk mengusir gangguan setan dan sihir.

Abdul Khalik Al-Atthar dalam bukunya “Menolak dan membentengi diri dari sihir” menyebutkan bahwa untuk bebas dari pengaruh jahat jin, boleh dilakukan beberapa cara, antara lain:

1. Metode Istinthaq

Methode istinthaq adalah mengajak berbual dengan jin/syaitan yang ada di dalam tubuh orang yang terkena sihir. Dan menanyakan kepadanya tentang namanya, nama tukang sihir yang memanfaatkan jasanya, nama orang yang membebani tukang sihir untuk melakukan sihir, menanyakan tempat penyimpanan sihir serta barang-barang yang digunakan untuk menyihir. Meskipun demikian, kita dituntut untuk tetap waspada dan tidak mempercayai sepenuhnya akan apa yang diucapkan oleh jin/syaitan yang ada di dalam tubuh pesakit, sebab bioleh jadi jin itu berbohong dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah dan memecah belah hubungan baik diantara sesama manusia.

2. Metode Istilham

Melalui Istilham adalah memohon ilham dan petunjuk yang benar dari Allah swt) agar Ia berkenan memberikan isyarat lewat mimpi, sehingga sihir yang menimpa seseorang bisa terdeteksi dan kemudian dilenyapkan.

3. Metode Tahshin

Methode Tahsin adalah pembentengan, yaitu dengan membentengi dan melindungi korban sihir dengan menggunakan bacaan Al-Qur?an, zikir dan ibadah-ibadah tertentu.

Syaikh bin Baaz mengatakan bahwa cara yang paling efektif dalam mengobati pengaruh sihir adalah dengan mengerahkan kemampuan untuk mengetahui tempat sihir, misalnya di tanah, gunung dan lain-lain. Dan bisa diketahui lalu diambil, maka lenyaplah sihir itu.

Pengubatan sihir yang diharamkan adalah menyingkirkan sihir dengan sihir juga, ini sesuai dengan perkataan Rasul yang melarang keras seorang muslim pergi ke rumah dukun dan tukang sihir untuk meminta bantuan kepadanya.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mengeluarkan sihir dan memusnahkannya adalah pengobatan yang paling efektif, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw bahwasanya beliau memohon kepada Allah untuk dapat melakukan hal itu. Allah memberi petunjuk kepada beliau, sehingga beliau pernah mengeluarkan sihir dari sebuah sumur.

4. Hijamah

Cara yang lainnya adalah dengan hijamah (berbekam) pada anggota tubuh yang terasa sakit akibat pengaruh sihir, karena sihir bisa berpengaruh pada tubuh, dan melemahkannya.

5. Obat-obatan

Pengobatan sihir dapat juga dilakukan dengan menggunakan obat-obatan yang mubah (dibolehkan) seperti dengan memberi kurma ?Ajwah kepada si penderita.

Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad dari bapaknya bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa setiap pagi hari memakan kurma ‘Ajwah maka tidak akan membahayakan dirinya baik racun maupun sihir pada hari itu hingga malam hari”. (HR. Bukhari)

Tentang keistimewaan kurma ini Imam Al-Khattabi berkata: Kurma ‘Ajwah memiliki hasiat dan manfaat yaitu bisa menjadi penangkal racun dan sihir karena berkat do’a Rasulullah saw terhadap kurma Madinah, dan bukan karena keistimewaan kurma itu sendiri.

6. Ruqyah

Cara yang lainnya yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan sihir adalah dengan membacakan ruqyah syar’iyyah (pengobatan melaui bacaan Al-Quran, zikir dan do’a).

Imam Ibnu Qayyim mengatakan: Diantara obat yang paling mujarab untuk melawan sihir akibat pengaruh jahat setan adalah dengan pengobatan syar’i yaitu dengan zikir, do?a dan bacaan-bacaan yang bersumber dari Al-Quran. Jiwa seseorang apabila dipenuhi dengan zikir, wirid dan mensucikan nama Allah niscaya akan terhalangi dari pengaruh sihir. Orang yang terkena sihir bisa sembuh dengan membaca ruqyah sendiri atau dari orang lain dengan ditiupkan pada dada atau tubuh yang sakit sambil membaca zikir dan do’a.

Berikut ini adalah antara bacaan-bacaan yang diyakini mampu menolak dan menghilangkan bahaya sihir, di antaranya:

  • Surat Al-Fatihah.
  • Surat Al-Baqarah, khususnya ayat-ayat 1-5, 254-257 dan 284-286.
  • Surat Al-Imran khususnya ayat 1-9 dan 18-19
  • Surat An-Nisa khususnya ayat 115-121
  • Surat Al-A’raf khususnya ayat 54-55.
  • Surat Al-Mu’minun khususnya ayat 115-118.
  • Surat Yasin khususnya ayat 1-12.
  • Surat As-Shaffat khususnya ayat 1-10.
  • Surat Ghafir khususnya ayat 1-3, dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

doa-doa yang dianjurkan diantaranya:

اللهم رب الناس اذهب البأس اشف أنت الشافى لا شافي إلا أنت شفاء لا يغادر سقما.

Ya Allah, Rabb bagi semua manusia, hilangkanlah rasa sakit, berila kesembuhan, Engkau zat yang menyembuhkan tiada yang bisa menyembuhkan kecuali Engkau, kesembuhan yang tiada menimbulkan sakit sedikitpun.

بسم الله أرقيك من كل شيء يؤذيك ومن شر كل نفس أو عين حاسد الله يشفيك بسم الله أرقيك.

Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari kejahatan setiap jiwa atau pandangan orang yang dengki, Allah yang memberi kesembuhan padamu, dengan nama Allah saya meruqyahmu.

أعيذك بكلمات الله التامة من شر ما خلق.

Saya mohon untuk kamu perlindungan kepada Allah dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang diciptakan.

Bin Baz mengatakan: Hendaklah seorang muslim meminta kesembuhan hanya kepada Allah dari segala kejahatan dan bencana, dengan membaca doa-doa berikut ini:

بسم الله الذي لا يضر مع اسمه شيء في الأرض ولا في السماء وهو السميع العليم.

Dengan menyebut nama Allah yang dengan keagungan nama-Nya itu menjadikan sesuatu tidak berbahaya baik yang ada di langit atau di bumi, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui? (Dibaca 3x pada pagi dan sore hari)

Dan dianjurkan pula untuk membaca Ayat Kursy ketika hendak tidur dan sehabis salat fardhu, disamping membaca surat Al-Falaq, Al-Nas dan Al-Ikhlash setiap selesai melakukan salat subuh dan salat maghrib serta menjelang tidur.

Seluruh cara di atas hanyalah sekedar do’a dan usaha, sumber kesembuhan hanyalah dari Allah semata, Dialah yang Maha mampu atas segala sesuatu dan di tangan-Nya segala obat dan penyakit, dan segala sesuatu bisa terjadi berdasarkan ketentuan dan takdir Allah swt.

Pada dasarnya membantu pengobatan dengan ruqyah adalah amal tathowu‘i ( sukarela) yang dibolehkan menerima hadiah dan bukan kasbul maisyah (mata pencaharian rutin).

sumber : pelbagai


27.12.09

Kesukaan Dan Kebencian Allah Swt


Hadith :
Daripada Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :

“ Sesungguhnya Allah meredhakan tiga perkara bagi kamu dan Ia membenci tiga perkara bagi kamu. Ia redha supaya kamu mengabdikan diri kepada-Nya dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu dan supaya kamu semua berpegang teguh dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu berpecah belah. Dan Ia membenci bagi kamu berkata begini begitu, banyak bertanya dan mensia-siakan harta.”
(Hadis riwayat Muslim)



Huraian

Selaku hamba, kesukaan kita hendaklah selari dengan kesukaan Allah. Apa sahaja yang kita lakukan jika Allah menyukainya, maka kita hendaklah menjadikannya sebagai satu amalan. Sama ada kecil atau besar, wajib atau sunat asalkan Allah menyukainya, kita mestilah melakukannya. Itulah manifestasi dari cinta kita yang mendalam terhadap Allah SWT. Samalah juga keadaannya dengan seseorang yang tentu akan menyukai apa sahaja yang disukai oleh orang yang dicintainya. Ia bukan soal mendapat pahala atau fadhilat tetapi lebih kepada hasrat untuk menyatakan dan membuktikan cinta dan kehambaan kita kepada Allah. Begitu juga dengan aspek kebencian. Ia hendaklah selari dengan kebencian Allah dengan maksud bahawa kita meninggalkan apa sahaja perbuatan dan amalan yang dibenci oleh Allah. Dalam hal ini tidak dinafikan bahawa nafsu pasti mendorong kita untuk berbuat apa yang Allah benci kerana nafsu suka kepada apa yang Allah benci dan benci kepada apa yang Allah suka. Tetapi iman yang kuat dan teguh akan dapat melawan nafsu disebabkan rasa bertuhan dan rasa kehambaan yang mendalam dalam diri. Itulah antara ciri-ciri taqwa yang sejati.




KATA KATA HIKMAH

LUANGKANLAH WAKTU


Luangkanlah waktu untuk berpikir
karena berpikir adalah sumber kekuatan

Luangkanlah waktu untuk membaca
karena membaca adalah landasan sikap bijaksana

Luangkanlah waktu untuk bermain
karena bermain merupakan rahasia awet muda

Luangkanlah waktu untuk diam
karena diam adalah kesempatan menuju Yang Maha Esa

Luangkanlah waktu untuk peduli
karena peduli adalah kesempatan untuk membantu sesama

Luangkanlah waktu untuk mencintai dan dicintai
karena cinta adalah anugrah yang besar dari Tuhan

Luangkanlah waktu untuk tertawa
karena tertawa adalah musik jiwa

Luangkanlah waktu untuk bersikap santun
karena sikap santun adalah jalan menuju kebahagiaan

Luangkanlah waktu untuk mengkhayal
karena khayalan melahirkan masa depan

Luangkanlah waktu untuk berdo’a
karena do’a adalah kekuatan terbesar di muka bumi

25.12.09

Bercuti di melaka, december 2009. percutian yang membosankan...









ketawa... jangan ketawa

Abu Laits berkata

Awaslah kamu dari ketawa berlebih lebihan kerana ketawa mengandung 8 bahaya.



· Tercela oleh ulama dan orang yang sopan sempurna akal.

· Memberanikan orang bodoh kepadamu

· Jika engkau bodoh nescaya betambah kebodohanmu dan bila engkau alim berkurang ilmumu sebab ada riwayat: Seorang alim jika ketawa beerti telah memuntahkan ilmunya.

· Melupakan dosa-dosa yang lampau

· Memberanikan membuat dosa di masa depan, sebab bila ketawa terbahak membekukan hatimu.

· Melupakan mati dan akhirat

· Engkau menanggung dosa orang yang ketawa kerana ketawamu

· Ketawa terbahak-bahak itu menyebabkan banyak menangis di akhirat.

Taklid Buta Dan Taksub Kepada Imam Mazhab

Di-Edit semula dari tulisan:

Ust. Mohd. Noor Tahir & Kapten Hafiz Firdaus Abdullah


Sikap taklid buta terhadap para imam mazhab secara melampau perlu dihentikan. Ini kerana, semua imam mazhab menjadikan sunnah yang sahih sebagai pegangan utama dan meninggalkan pendapat individu jika menyanggahi sunnah baginda.


Sebahagian pengikut mazhab yang fanatik menolak bulat-bulat pendapat mazhab lain. Seolah-olah, mazhabnya sahaja yang betul. Sedangkan dalam beberapa perkara, mereka sebenarnya mengamalkan pendapat imam lain atas alasan darurat.

Ada riwayat menyebut, Khalifah Abu Ja’far al-Mansur dan Harun al-Rasyid ingin menjadikan Mazhab Malik dan Kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik sebagai sumber perundangan dan rujukan kerajaan Abbasiyyah.

Tetapi, cadangan ini ditentang oleh Imam Malik sendiri. Alasan beliau ialah kebenaran itu hanya satu, iaitu melalui Rasulullah s.a.w. Pendapat seseorang boleh ditolak apabila bertentangan dengan sunnah Rasulullah s.a.w


Para salafussoleh bersepakat, wajib berpegang dan kembali kepada al-Quran dan sunnah yang sahih serta meninggalkan setiap pendapat yang menyalahi kedua-duanya. Walaupun ia diutarakan oleh seorang pakar, ulama, tokoh ilmuan atau sarjana. Ini kerana, Rasulullah s.a.w lebih afdal untuk diikuti dan dicontohi berbanding individu yang tidak terlepas daripada salah dan silap.


Jika mendapati sesuatu yang bertentangan dengan amalan harian masyarakat kita di dalam sesebuah pendapat yang diutarakan, maka janganlah terus membuat kesimpulan yang singkat, lalu mentohmah sesuatu pendapat yang mungkin baru di mata kita dengan tuduhan yang tidak benar. Sebaliknya saya mengesyorkan agar kita semua mengkaji dan meneliti semula setiap nukilan dan pendapat yang diutarakan itu. Ini lebih baik agar kita membuat sesuatu kenyataan berdasarkan hujah dan tidak mudah diselewengkan.


Hal ini merupakan satu contoh amalan Rasulullah s.a.w yang telah ditinggalkan. Semoga ALLAH memberi hidayah kepada sesiapa yang dikehendaki-NYA kepada ajaran Islam yang murni. Sesungguhnya meninggalkan amalan yang dipenuhi sangkaan atau taklid buta adalah suatu yang dituntut oleh syarak.



Pengertian Taklid

Dan Segi Bahasa

Taklid merupakan kata terbitan daripada (قلد) yang bermaksud menyerah, menghias, menyeleweng, meniru, menurut seseorang atau menerima hutang. Antara pengertian taklid menurut sebahagian ulama salafussoleh ialah:

Imam al-Syaukani r.h berkata: “Taklid ialah menerima pendapat seseorang yang tidak berdiri berdasarkan hujah.”

Imam al-Son’ani r.h berkata: “Taklid ialah mengambil pendapat orang lain tanpa dalil.”



Dan Segi Istilah

Imam Abu Abdullah Khuwaz Mandad r.h berkata:

“Taklid menurut pengertian syara’ ialah kembali (menyandarkan perbuatan kepada perkataan yang tidak ada hujah bagi orang yang mengatakannya serta tiada dalil (berhubung dengan) apa yang dikatakan itu, malah orang yang berkata tidak mampu membawa dalil.”


Taklid Pendapat Generasi Salafussoleh

Para Sahabat

Sebenarnya, isu taklid telah lama ditegahkan oleh para sahabat Nabi s.a.w. Bukan hanya imam empat mazhab sahaja.

Hakikatnya, terdapat banyak perbezaan pendapat dalam memahami hadis Rasulullah s.a.w. Contohnya, dalam bab menguatkan bacaan basmalah ketika solat. Sebahagian sahabat menguatkannya, manakala, sebahagian yang lain pula memperlahankannya. Namun, kedua-dua pendapat ini sahih kerana ia pernah dilakukan oleh Nabi s.a.w. Oleh itu, para ulama mengharuskan kedua-dua perbuatan ini.


Para sahabat juga melarang bertaklid kepada seseorang. Antara mereka yang menyatakan seperti itu adalah:

Abu Bakar al-Siddiq r.a berkata:

“Taatilah aku selagi aku mentaati ALLAH. Apabila aku tidak lagi mentaati ALLAH, janganlah kamu semua mentaatiku.

Au bin Abi Talib r.a berkata:

“Mengenai orangjang berilmu itu,jika ia mendapatpetunjuk (sekalipun) janganlah kamu bertaklid kepadanya tentang agama kamu.”

Ibn Mas’ud r.a berkata:

“Jadilah orang yang berilmu atau orang yang belajar dan janganlah sesekali kamu menjadi pengikut kepada pendapat seseorang.”



Imam Mazhab

Para imam mujtahid melarang kita bertaklid kepada mereka kerana bimbang apa yang mereka ijtihadkan itu menyalahi hadis-hadis Rasulullah s.a.w yang sahih.

Mereka memerintahkan para pengikutnya agar berpegang pada hadis jika ijtihad mereka jelas menyanggahi sunnah Rasulullah s.a.w yang sahih. Ijtihad mereka hanya boleh dipegang jika melibatkan hadis yang kurang jelas serta terdapat perbezaan pendapat padanya.


Namun, jika sesuatu hadis itu sahih, jelas makna serta lafaznya, ijtihad tidak diperlukan dan seluruh umat Islam wajib beramal dengan hadis itu. Walaupun para imam amat menekankan agar kembali kepada hadis yang sahih serta meninggalkan pendapat mereka, masih ada pengikutnya yang terkemudian begitu lantang bersuara dan lebih memartabat dan mempopularkan hadis daif dan palsu.


Mereka menyandarkan perkataan kepada para imam dan menjadikannya sebagai hujah yang batil (sesat) demi membenar dan mempertahankan kehendak hawa nafsu mereka. Perhatikanlah sebahagian daripada pendapat para imam mujtahid mengenai hukum bertaklid.


Imam Abu Hanifah r.h (80 H 150 H) berkata:

“Seseorang tidak boleh mengambil (berpegang) pada pendapat kami jika dia tidak mengetahui dari mana sumber itu diambil.”


Imam Malik bin Anas r.h berkata:

“Tidak ada seorang pun selepas Nabi s.a.w (wafat) melainkan perkataannya boleh diambil atau ditolak. (Kecuali) perkataan Nabi s.a.w sahaja (yang boleh diterima dan tidak boleh ditolak).”


Imam Syafie r.h berkata: ‘‘Apabila hadis itu sahih, itulah mahabku.”

Tambahnya lagi: “Umat Islam telah berjmak, tidak boleh meninggalkan sesuatu yang telah pasti dan menepati sunnah Rasulullah s.a.w. Bukan semata-mata berpegang pada pendapat seseorang.”

Imam Ahmad bin Hanbal r.h berkata: “Sesiapa yang menolak hadis Rasulullah s.a.w dia telah berada di tepi jurang kebinasaan.”

Itulah pendirian para imam mazhab. Mereka melarang keras perbuatan bertaklid kepada pendapat mereka. Mereka sendiri meninggalkan perbuatan itu jika menemui hadis yang sahih.


Ibn Hazm r.h telah menyatakan pendapat Imam Syafie mengenai larangan bertaklid:

“Sesungguhnya semua ulama fikah itu telah membatalkan taklid. Mereka melarang sama sekali sahabat-sahabat mereka (para pengikutnya mazhab) bertaklid kepada mereka. Antaranya al-Imam al-Syafi’e. Beliau sampai ke taraf berpendirian tegas dalam menentukan kesahihan sesuatu hadis dan berpegang pada hujah yang tepat. Beliau juga tidak suka (orang lain) mengikut semua pendapatnya.”


Perlu diingatkan, semua para imam saling menghormati pendapat satu sama lain. Imam Malik sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Manakala, Imam Syafie pula sempat menuntut ilmu daripada Imam Malik di Madinah. Manakala, Imam Ahmad bin Hanbal pula sempat berguru dengan Imam Syafie di Iraq.


Dalam masa yang sama, kita tidak mengatakan Imam Syafie bermazhab Maliki atau Imam Ahmad bin Hanbal bermazhab Syafie. Kelebihan para imam mempunyai ilmu yang luas untuk rnenyanggahi pendapat gurunya sebagai faktor mereka sanggup keluar daripada belenggu mazhab (mengikut pendapat seseorang).


Oleh itu, terdapat pengikut yang terkemudian keluar daripada pendapat mazhabnya kerana ilmu mereka amat luas sehingga mampu memilih pendapat yang paling tepat. Jadi, apa kurangnya ulama kontemporari yang terbuka fikiran dan ilmunya menukilkan pendapat ulama silam lalu mengamalkannya.


Namun, mereka tidak pernah menyalahkan pendapat imam yang lain. Bahkan, Imam Syafi’e sendiri mewasiatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal agar menceritakan kepadanya setiap hadis sahih yang ditemui. mi bermakna, tidak semua hadis dimiliki atau ditemui oleh Irnam Syafie. Jika tidak, mana mungkin seorang guru meminta hadis daripada anak muridnya.


Oleh itu, janganlah berpecah-belah semata-mata mempertahankan fahaman yang disandarkan kepada para imam. Bukankah mereka telah berlepas diri terhadap perbuatan fitnah yang dilemparkan kepada mereka.


Mereka tidak pernah mengajar kita mengamalkan hadis dhaif walaupun ia adalah ijtihad mereka. Ini kerana, ijtihad mereka mungkin betul dan mungkin juga salah. Bahkan mereka menggalakkan kita meninggalkan pendapat yang menyanggahi sunnah yang sahih.


Bagi kita yang telah diberi kemudahan mengkaji kitab-kitab karangan mereka, sudah pasti mudah bagi kita untuk mencari kesahihan pendapat. Inilah hasil usaha yang ditinggalkan oleh mereka pada agama ALLAH.



Pesanan Imam Syafie

Ramai di kalangan para kelompok masyarakat yang mengaku bermazhab Syafi’e tidak tahu tentang cara mengerjakan solat mengikut mazhabnya. Ada yang mengangkat tangan melebihi kepala dan ada yang meletakkan tangan ke tepi rusuk serta pelbagai lagi.


Sejak akhir-akhir ini, “talfiq” iaitu percampuran pelbagai mazhab (pendapat imam) memang tidak dapat dinafikan. Cuma, kebanyakan masyarakat masih belum sedar tentang kewujudannya. Apa tidaknya, bila ke Makkah seseorang bermazhab Syafie boleh menukar mazhab. Apabila berzakat, mengikut mazhab Imam Hanafi. Apabila bersolat pula, tangan diletakkan ke bawah pusat. Bukankah itu adalah menurut pandangan Imam Abu Hanifah?


Begitu juga dengan masalah kenduri arwah, Imam Syafi’e mengharamkannya. Tetapi ada juga yang melakukannya. Bukan orang bawahan, bahkan para ulama yang digelar ustaz dan guru. Contohnya, membaca al-Quran dan tahlilan yang dihadiahkan kepada si mati. Ini tiada dalam Mazhab Syafie.


Oleh itu, berpeganglah pada al-Quran dan sunnah yang sahih bukannya menurut hawa nafsu semata-mata. Janganlah kita mudah terpedaya dengan pendapat batil daripada ulama-ulama yang menyembunyikan ilmu. Lebih-lebih lagi mereka yang mengharapkan habuan dunia demi menjaga kepentingan diri.


Kurang ilmu agama yang sahih, tidak mahir berbahasa Arab dan tidak pernah berhujah menjadi faktor utama mengapa seseorang itu sanggup bertaklid tanpa membuat kajian. Sedangkan Imam Syafi’e sendiri mewajibkan pengikutnya mengambil dalil yang sahih serta mengkaji ilmu agama dan bukan hanya menerima tanpa penelitian.


Selain itu, beliau juga mengharamkan bertaklid kepadanya. Terdapat banyak kata-kata beliau yang melarang taklid kepada imam-imam mazhab. Imam Syafie r.h berkata:

“Setiap orang boleh mengingati dan melupai sesuatu riwayat. Apa yang benar ialah sesuatu yang bertepatan dengan sunnah Rasulullah s.a.w dan itulah pendapatku.” (Hadis maqtu’ riwayat al-Hakim dengan sanad sampai kepada al-Syafie. Rujuk Tarikh Dimasyq, Ibn ‘Asaakirr: 15/1/3, I’lam al-Muwaqqi’in, jil. 2, ms. 363-364 dan al-Iqazah, ms. 100)

“Sesiapa yang mengetahui hadis sahih, tidak boleh meninggalkan sunnah Rasulullah s.a.w hanya kerana mengikut pendapat seseorang.” (Rujuk Ibn al-Qayim, jil. 2, ms. 361 dan al-Fulani, ms. 68)

“Apabila kamu temui dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan hadis Rasulullah s.a.w yang sahih, berpeganglah pada hadis itu. Tinggalkanlah apa yang telah aku katakan itu.” Manakala dalam riwayat yang lain katanya: “Ikutilah hadis itu dan janganlah kamu menoleh kepada pendapat sesiapa pun.” (Rujuk Zaminul Kalam, karya al-Harawi, 3/47/1, al-Khaatib dalam al Ihtijaj bi al-Syafie, jil. 8/2, Ibn ‘Asaakir, 5/9/10, al-Nawawi, al-Majmu’, jil. 1, ms. 63, Ibn Qayyim, jil. 2, ms. 361, al Fulani, ms. 100. Manakala riwayat kedua daripada Abu Nu’aim dalam al-Hiliyyah, jil. 9, ms. 107)

Aku akan menarik semula pendapatku sama ada ketika hidup atau matiku jika ia berlawanan dengan sesuatu perkara yang sahih daripada Rasulullah s.a.w.” (Rujuk Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, jil. 9, ms. 107, al-Haraawiy, jil. 1, ms. 47, Ibn Qayyim dalam I’laam al-Muwaqqi’in, jil. 2, ms. 363 dan al-Fulaniy dalam al-Iqaz, ms. 104)

“Apabila aku mengeluarkan pendapat yang berlawanan dengan hadis Rasulullah s.a.w yang sahih, ketahuilah bahawa ketika itu aku sudah nyayuk.” (Rujuk karya Ibn Abi Hatim dalam Adab al-Syafie, ms. 93, Abu al-Qasim al-Samarqandi dalam al-Amali, Abu Hifshul Mu’addab dalam al-Muntaqa Minha, jil. 1, ms. 236, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, jil. 9, ms. 106 dan Ibn ‘Asaakir, 15/10/1, dengan jalur sanad yang sahih)


“Semua hadis Rasulullah s.a.w yang sahih adalah pendapatku sekalipun kamu belum pernah mendengarnya daripadaku.” (Rujuk Ibn Abi Hatim, ms. 93-94)


“Apabila hadis itu sahih, itulah mazhabku.” (Rujuk al-Nawawi dalam al-Majmu’, jil. 1, ms. 63, al-Sya’raaniy, jil. 1, ms. 57. Beliau menghubungkan sanadnya kepada al-Hakim dan al-Baihaqi. Diriwayatkan juga oleh al-Fulani, ms. 107)


Al-Sya’raani r.h berkata: “Ibn Hazm berkata, maksud sahih ialah hadis sahih menurut Imam Syafie sendiri dan imam-imam yang lain.”


Imam Nawawi al-Syafie r.h berkata:

“Merujuk kepada kata-kata Imam Syafie ini, pengikutnya boleh mengamalkan hadis berhubung perkara tatswib (as solatu khairun minan naum) dan boleh bertahallul apabila sakit atau kerana sebab lain seperti yang tertulis dalam kitab-kitab pengikutnya yang bermazhab Syafie.


Antara ulama fikah bermazhab Syafie yang meninggalkan pendapat beliau ialah Abu Ya’kub al-Buwaiti dan Abu al-Qasim al-Daraqi. Manakala ahli hadis bermazhab Syafie yang meninggalkan pendapat beliau ialah Imam Abu Bakar al-Baihaqi.


Sebahagian ulama Syafi’eyah (pengikut imam Syafi’e) lebih mengutamakan hadis sahih walaupun ia tidak diamalkan oleh Imam Syafie. Menurut mereka, “setiap apa bertepatan dengan hadis sahih, itulah Mazhab Syafie.”


Syeikh Abu ‘Amr r.h berkata:

“Ulama Mazhab Syafie akan berbincang apabila terdapat hadis yang bercanggah dengan amalan mazhab mereka. Mereka akan mengamalkan hadis itu jika mereka mampu berijtihad. Sebaliknya jika mereka tidak mampu berijtihad, mereka tidak akan menyalahi hadis itu selepas berusaha mengkaji dan beramal mengikut ulama yang berhujah dengannya. Ini adalah suatu keuzuran untuk mereka meninggalkan mazhab yang diikuti.”


Taqiuddin al-Subki al-Syafi’e r.h berkata:

“Seseorang perlu mengamalkan hadis sahih jika dia yakin dengan kesahihan hadis itu walaupun tidak dapat bertemu dengan imam tersebut. Ketika itu, dia perlu membayangkan dirinya sedang berada di hadapan Nabi s.a.w dan mendengar sendiri sabda baginda. Apakah dia sanggup menangguhkan beramal dengan sabda Rasulullah s.a.w yang sahih? Tentu sekali tidak! Oleh itu, setiap orang menerima tariggungjawab sesuai dengan pemahamannya.” (Rujuk al-Syubki, Makna Qaul al-Syafi’e Iza Sohhal Hadis Fahuwa Mazhabi, ms. 103, jil. 3, I’lamul Muwaqqi’in, jil. 2, ms. 302 dan 307. Juga al-Fulani dalam Iqaz Himam Ula al-Absor Lii Iqtida Bisayyidil Muhajirin Wa al-Ansor Wa Tahziruhum ‘Anil Ibtidaa al-Syafi’e Fil Qura Wal Amsor Mm Taklidil Mazahib Ma’al Hammiyyah Wal Ashabiyyah Bainal Fuqahail A’sor)


Menurut Abdullah bin Ahmad bin Hanbal r.h, daripada ayahnya bahawa Imam Syafie r.h pernah berkata kepadanya:

“Kamu lebih luas pengetahuan mengenai hadis dan perawi. Jika ia sahih, beritahulah aku sama ada ia dari Kufah, Basrah atau Syam. Aku akan beramal dengannya jika ia benar-benar sahih.” (Rujuk Ibn Abi Hatim dalam Adab al-Syafie, ms. 94-95, Abu Nu’aim dalam al-Haliyyah, jil. 9, ms. 106, al-Khatib dalam al-Ihtijaj hi al-Syafi’e, 8/1, Ibn ‘Asaakir, 15/9/1, Ibn Abdul Baar dalam al-Intiqaa, ms. 75, Ibn al-Jauzi dalam Manaqib al-Imam Ahmad, ms. 499, al-Haraawiy, 2/47/2, Ibn Qayyim daiam I’laam al-Muwaqqi’in, jil. 2, ms. 32 dan al-Fulaniy dalam al-Iqaz, ms. 152)


Al-Baihaqi al-Syafie r.h berkata:

“Syafi’e banyak beramal dengan hadis. Beliau mengumpulkan ilmu ahli Hijaz, Syam, Yaman dan Iraq. Beliau akan berpegang pada hadis yang sahih menurut pendapatnya sendiri tanpa mengikut mazhab penduduk negaranya. Walaupun jelas kebenarannya pada pendapat orang lain dan tidak cenderung kepada mereka terdahulu.”


Taqiuddin al-Subki al-Syafie r.h telah menyatakan dalam Kitab al-Fataawa, jilid 1, muka surat 148:

“Solat ialah urusan umat Islam yang paling penting. Setiap muslim wajib mengambil berat dan memeliharanya. Terdapat perkara yang disepakati oleh ulama yang mesti diamalkan. Begitu juga dengan perkara yang tidak disepakati ulama.


Mereka boleh memilih sama ada keluar daripada perselisihan itu atau berusaha meneliti semula hujah-hujah yang digunakan. Solat mereka sah dan betul jika mereka bijak mengkaji kerana ibadah itu sesuai dengan firman ALLAH S.WT:


“Sesiapa yang mengharapkan pertemuan dengan TUHANnya, dia hendaklah beramal soleh.” (Surah al-Kahfi 18: 110)

Al-Muzanni al-Syafie r.h berkata:

“Saya ringkaskan Kitab al-Umm dan huraikan maksudnya kepada sesiapa yang memerlukan. Saya juga menjelaskan larangan Imam Syafie daripada bertaklid kepadanya dan juga orang lain. Seseorang itu perlu meneliti dan mengkaji urusan agamanya serta mengambil ilmu pengetahuan dan kitab ini. (Rujuk Mukhtasar Li Fiqh al-Syafi’e, jil. 9, ms. 3)



Para Ulama Terkemudian (khalaf)

Ibn al-Jauzi r.h menyatakan dalam kitabnya Talbisul Iblis:

“Orang yang bertaklid tidak ada pegangan yang teguh dengan apa yang ditaklidkan. Taklid merosakkan fungsi akal untuk berfikir dan tadabbuz. Celakalah bagi orang yang memadam lilin yang dinyalakan untuk menerangi kegelapan.”


Imam al-Tahawi r.h berkata:

“Seseorang tidak akan bertaklid melainkan jika dia bersifat keras kepala dan berfikiran beku.”

Ibn Hazm r.h menyatakan dalam kitabnya Masaail Minal Usul:

“Tidak dibenarkan sesiapa pun hertaklid kepada seseorang yang masih hidup atau yang telah mati.”


Abu Syamah r.h menyatakan dalam Kitab al-Mu,ammal:

“Taklid kepada orang lain selain rasul-rasul ALLAH adalah haram.”

Imam Abdullah bin al-Mu’tamir r.h berkata:

“Tidak ada perbezaan antara binatang ternakan yang menuruti perintah dan seorang manusia yang bertaklid.”


Imam Sanad bin ‘Anan r.h berkata:

“Seseorang yang bertaklid tidak berada pada pandangan dan ilmu yang benar kerana ia bukan jalan yang membawa kepada ilmu pengetahuan.”



Beberapa langkah untuk menjauhi taqlid

Memandangkan taqlid sudah menjadi satu kelaziman umat Islam tanah air, berikut disenaraikan beberapa langkah untuk menjauhi taqlid:


1 - Menetapkan di dalam diri masing-masing bahawa menuntut ilmu adalah wajib hukumnya ke atas setiap individu muslim. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap Muslim. (Sahih: Hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ibn Hibban, al-Thabarani dan lain-lain, dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Jami’ al-Shagheir – no: 3913) Bertaqlid tidak termasuk di dalam kategori menuntut ilmu melainkan bagi orang yang benar-benar tidak mampu dari sudut kecerdasan akal dan kemudahan fizikal.


2 - Menetapkan keyakinan di dalam diri masing-masing bahawa menuntut ilmu agama adalah mudah sebagaimana menuntut ilmu-ilmu yang lain. Lebih dari itu sesiapa yang bersungguh-sungguh menuntut ilmu atas tujuan memperbaiki agamanya, maka dia akan dipimpin oleh Allah sebagaimana firman-Nya:

Dan orang-orang yang berusaha dengan bersungguh-sungguh kerana memenuhi kehendak agama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan-jalan Kami dan sesungguhnya (pertolongan dan bantuan) Allah adalah berserta orang-orang yang berusaha membaiki amalannya. (al-Ankabut 29: 69)


3 - Lazimkan diri untuk menghadiri kuliah agama dan membaca buku yang bersifat ilmiah. Pastikan setiap pendapat/ulasan yang dikemukakan disandarkan kepada dalil al-Qur’an dan al-Sunnah diikuti dengan hujah tokoh/ulama yang muktabar pada generasi awal Islam. Jauhilah kuliah atau buku agama yang hanya membicarakan agama tanpa dalil dan hujah.


4 - Memberi perhatian dan keutamaan kepada para ustaz dan ustazah yang “junior”. Alhamdulillah, negara kita memiliki ramai graduan tempatan mahupun luar negara dalam jurusan agama yang mampu menyampaikan ilmu dengan menjauhi kaedah taqlid. Akan tetapi mereka tidak diberi perhatian yang sewajar oleh masyarakat sebagai sumber rujukan ilmu semata-mata kerana umur mereka yang agak muda.


5 - Berdoa kepada Allah agar diberi kecerdasan akal dan kemudahan fizikal untuk menuntut ilmu sebagaimana firman-Nya:

“Wahai Tuhanku, tambahilah ilmuku.” (Taha 20: 114)



Beberapa Contoh Sikap Taksub Mazhab

Sikap taksub mazhab juga boleh menyebabkan para pengikut sesebuah mazhab sanggup mencipta hadis-hadis palsu bagi membenarkan mazhab sendiri.


Berikut adalah beberapa contoh dari sikap taksub mazhab yang pernah dan sedang dialami oleh dunia Islam masa kini. Tujuannya ialah untuk menyedarkan kita akan kekerdilan fikiran sesetengah pihak sehingga menyebabkan timbulnya perselisihan yang besar daripada satu perkara yang asalnya tidak berselisih.



Contoh Pertama: Jamaah berlainan mahzab

Suasana taksub bermazhab yang paling jelas ialah apabila jamaah yang melaksanakan solat fardhu dibahagikan kepada 4 kumpulan di Masjid al-Haram. Perkara ini berlaku sebelum tahun 1342H/1924M. Lebih menyedihkan, suasana begini berlaku di hadapan Ka’bah padahal Ka’bah itu sendiri merupakan binaan yang mengisyaratkan persatuan umat Islam.


Suasana sebegini masih berlaku di beberapa masjid yang lain di negara yang rakyatnya mengikuti lebih dari satu mazhab. Ini sebagaimana yang diterangkan oleh al-Albani rahimahullah tentang apa yang berlaku di Syria:


Adakalanya didapati sebahagian jemaah itu masih menunggu kedatangan imam mazhab mereka padahal di sebelah mereka jamaah mazhab lain sudahpun memulakan solat bersama imam mereka. Mereka enggan berjamaah bersama di belakang satu imam hanya kerana perbezaan mazhab. Mereka berpendapat solat imam mazhab lain diragu-ragukan dan boleh dipersoalkan, malah ada yang mengatakan ianya tidak sah. (Rujuk: The Prophet’s Prayer Described, ms. xxix)



Contoh Kedua: doa qunut

Contoh yang lain ialah berkenaan membaca doa qunut dalam solat Subuh. Dalam Mazhab al-Syafi‘e, membaca doa qunut dihukum sunat manakala dalam mazhab Hanafi dan Hanbali ianya tidak sunat.


Dalam menghadapi suasana perbezaan seperti ini, segelintir ulama’ al-Syafi‘eyyah (al-Syafi‘eyyah bermaksud ulama’-ulama’ dalam Mazhab al-Syafi‘e yang hidup selepas Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‘e) yang berfatwa bahawa seorang jamaah mazhab al-Syafi‘e wajib melakukan sujud sahwi di akhir solat subuhnya apabila dia menjadi makmum kepada seorang imam dari mazhab lain yang tidak membaca doa qunut. (Lihat Fiqh dan Perundangan Islam (edisi terjemahan oleh Syed Ahmad Syed Hussain; Yayasan Pembangunan Ekonomi Islam Malaysia & Dewan Bahasa dan Pustaka, K.Lumpur 1994), jld. 01, ms. 856 oleh Wahbah al-Zuhaili). Di samping itu ada pula yang memfatwakan bahawa seorang jamaah mazhab al-Syafi‘e yang menjadi makmum di belakang imam mazhab lain yang tidak membaca doa qunut boleh mengangkat tangannya membaca doa qunut subuh selagi sempat ketika imam tersebut sedang iktidal mahupun sedang turun ke posisi sujud. (Lihat Reliance of The Traveller (Amana Publications, Maryland, 1994), F12-23 oleh Ahmad ibn Naqib al-Misri, terjemahan dan nota tambahan oleh Nuh Ha Min Keller)


Kedua-dua fatwa di atas jelas merupakan sesuatu yang dikeluarkan kerana sikap taksub kepada mazhab. Ia jelas menyalahi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahawa imam itu adalah untuk diikuti oleh jamaah dalam setiap perlakuannya. Perintah baginda:

Sesungguhnya dijadikan seorang imam hanyalah untuk diikuti, maka janganlah kamu berbeza dengannya. Maka apabila (dia) rukuk maka rukuklah, apabila dia membaca “Sami Allahuliman Hamidah” maka bacalah “Rabbana lakalhamdu”. Dan apabila (dia) sujud maka sujudlah dan apabila (dia) solat duduk maka bersolatlah kamu semua dengan cara duduk. (Sahih: Hadis daripada Abu Hurairah radhiallahu ‘anh, diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan lain-lain. Lihat Shahih al-Bukhari – no: 722 (Kitab Azan, Bab meluruskan saf termasuk kesempurnaan solat))


Fatwa dan pendapat di atas juga menyalahi contoh yang ditunjukkan oleh al-Syafi‘e sendiri di mana dalam satu riwayat yang terkenal, beliau telah mengimami solat subuh bersama ahli jamaah mazhab Hanafi tanpa berqunut. Apabila ditanya kenapa dia tidak berqunut, al-Syafi‘e menjawab bahawa ia adalah sebagai menghormati Abu Hanifah. (Riwayat al-Dahlawi di dalam Hujjat Allah al-Balighah, ms. 335.)



Contoh Ketiga:

Sikap taksub mazhab tidak terhad kepada persoalan ibadah sahaja. Ia juga melibatkan perkara-perkara lain seperti keturunan, politik dan kehidupan harian. Sebahagian pihak dalam Mazhab al-Syafi‘e pernah mengagungkan Muhammad bin Idris al-Syafi‘e rahimahullah sehingga menghina para imam mazhab lain dengan alasan sebuah hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:


Para pemimpin (mestilah) daripada (keturunan) Quraish. (Hadis daripada Anas bin Malik radhiallahu ‘anh, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la dan al-Thabarani. al-Haitsami menyebutnya di dalam Majma’ al-Zawa‘id (ed: ‘Abd Allah M. Darwaisy; Dar al-Fikr, Beirut 1994) – no: 8978 dan beliau berkata: Para perawi (dalam riwayat) Ahmad adalah terpercaya)


Berdasarkan hadis ini mereka berkata:

Kita tidak dapati di kalangan imam-imam mujtahid (para imam mazhab) yang berketurunan Quraish selain Imam al-Syafi‘e.

Sedangkan Imam Abu Hanifah berketurunan bekas hamba, Imam Malik bin Anas daripada qabilah Zi-Asbah, Imam an-Nakha‘e daripada qabilah Nakha’ al-Yaman. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Muhammad al-Hassan, keduanya dari Bani Syabani dan bukannya dari Mudhar. Imam al-Tsauri berasal dari Bani Thaur dan Imam al-Awza‘e pula juga dari bekas keturunan hamba. (Demikian tulisan Abu Mansur ‘Abd al-Qahar al-Tamimi sebagaimana di dalam buku Rahmat Allah di Sebalik Perbezaan Mazhab, ms. 37 oleh Muhammad Fadli Ismail, yang mana beliau berkata buku ini ialah tulisan al-Suyuti. Buku ini perlu diteliti apakah benar ia tsabit dari al-suyuti, kerana di dalamnya terkandung begitu banyak hadis-hadis yang palsu)


Sikap taksub mazhab oleh golongan di atas menyebabkan mata hati mereka tertutup daripada ayat Allah Subhanahu wa Ta‘ala yang menyatakan bahawa sebaik-baik manusia bukanlah berdasarkan keturunan atau bangsa akan tetapi ketaqwaannya kepada Allah. Firman Allah:


Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu pelbagai bangsa dan bersuku puak supaya kamu berkenal-kenalan (antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam Pengetahuan-Nya. (al-Hujurat 49: 13)


Adapun maksud sebenar hadis “Para pemimpin (mestilah) daripada (keturunan) Quraish” ialah bahawa sesuatu negara atau komuniti Islam itu seharusnya memilih pemimpin mereka daripada kalangan kaum atau bani yang majoriti jumlahnya dan besar pengaruhnya supaya kepimpinan rakyat lebih teratur dan baik. Sebaliknya jika pimpinan dipegang oleh pihak minoriti ia akan membawa kekecohan di kalangan orang ramai.


Bani Quraish disebut dalam hadis ini kerana merekalah kumpulan terbesar dan terpengaruh di Semenanjung Arab pada ketika itu. Akan tetapi hadis ini tidaklah membatasi Bani Quraish sahaja kerana mereka sebenarnya hanya sebagai kaum minoriti berbanding dengan dunia Islam yang kini menjangkau jumlah 1 billion umatnya. Hadis ini juga lebih khusus kepada persoalan pimpinan duniawi tidak dalam persoalan pimpinan agama kerana banyak dalil-dalil lain yang menyatakan bahawa hal agama tiada bersangkut paut dengan keturunan dan bangsa.



Contoh Keempat:

Sikap taksub mazhab juga boleh menyebabkan para pengikut sesebuah mazhab sanggup mencipta hadis-hadis palsu bagi membenarkan mazhab sendiri. Contohnya ialah hadis berikut yang dicipta oleh pengikut Mazhab Hanafi yang bencikan Mazhab al-Syafi‘e bahawa kononnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada berkata:


Akan muncul di kalangan umat aku seseorang yang bernama Muhammad bin Idris (al-Syafi‘e) yang akan mendatangkan kerosakan kepada umatku lebih buruk daripada Iblis dan akan muncul pula di kalangan umat aku seorang lelaki bernama Abu Hanifah yang akan menjadi cahaya penyuluh umat aku.


Riwayat palsu ini dikenal pasti oleh Ibn al-Jawzi dalam kitabnya al-Maudu‘at, jld. 1, ms. 457 dan diutarakan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadis al-Dha‘ifah wa al-Maudhu‘ah, no: 570.


Pengikut Mazhab al-Syafi‘e juga tidak kurang hebatnya dengan mencipta sebuah hadis lain bagi menentang Mazhab Hanafi. Diketahui bahawa bagi Mazhab Hanafi disunatkan mengangkat tangan ketika membaca takbir bagi setiap pergerakan rukun solat manakala bagi Mazhab al-Syafi‘e mereka tidak menyunatkannya. Oleh itu pengikut Mazhab al-Syafi‘e telah mencipta suatu hadis bahawa kononnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata:


Sesiapa yang mengangkat tangan ketika solat maka tiadalah solat itu baginya (iaitu tidak sah).

Riwayat ini juga telah dinyatakan kepalsuannya oleh beberapa tokoh hadis seperti Ibn al-Qayyim, al-Dzahabi dan lain-lain sebagaimana terang al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadis al-Dha‘ifah wa al-Maudhu‘ah, no: 568. (Ibn al-Qayyim ialah al-Imam Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Qayyim al-Jawziyya. Lahir di Damaskus pada 691H/1292M. Antara tulisan beliau yang masyhur ialah Zaad al-Ma'ad dan I'lam al-Muwaqqi‘in, kedua-duanya telah diterjemahkan. Meninggal dunia di Damsyik pada 751H/1350M)


Demikian empat contoh yang sempat dikemukakan tentang sikap taksub sebahagian pengikut mazhab.

Sikap taksub sebegini timbul hanya kerana ikutan mereka kepada tuntutan nafsu lalu mereka mengunggulkan imam serta mazhab mereka kepada kedudukan yang terbaik. Pada waktu yang sama mereka menghina imam dan mazhab yang lain padahal pengunggulan dan penghinaan mereka hanyalah berdasarkan anggapan semata-mata, bukan berdasarkan kajian dan perbandingan ilmiah. Seandainya dilakukan kajian dan perbandingan ilmiah, pasti mereka akan menyedari bahawa semua para imam dan mazhab fiqh Islam adalah baik. Sikap taksub sebegini akhirnya akan membawa kepada perdebatan, pergaduhan dan perpecahan kepada umat Islam. Ibn Taimiyyah rahimahullah mengulas fenomena ini:


Adapun mengunggulkan sebahagian imam atau syaikh di atas sebahagian yang lain seperti orang-orang yang mengunggulkan imam mazhab mereka sebagai yang paling faqih atau yang mengunggulkan syaikh mereka sebagai sebaik-baik pembimbing di atas selainnya, sepertimana sebahagian orang yang mengunggulkan al-Syaikh ‘Abd al-Qadir (al-Jailani) atau al-Syaikh Abu Madyan atau (al-Imam) Ahmad (bin Hanbal) atau selain mereka, maka kebanyakan manusia di dalam hal ini berbicara tentangnya berdasarkan sangkaan dan kecintaan yang berlebih-lebihan.


Sesungguhnya mereka tidak mengetahui hakikat sebenar akan martabat para imam dan syaikh tersebut mahupun bermaksud mengikuti mereka kerana kebenaran yang sebenar-benarnya. Akan tetapi setiap mereka hanya mengikut nafsu dengan mengunggulkan tokoh ikutan mereka dengan pengunggulan yang merupakan anggapan demi anggapan semata-mata.


Mereka tidak memiliki apa-apa bukti bagi anggapan tersebut. Sikap seperti inilah yang sering kali menyebabkan perdebatan, pergaduhan dan perpecahan di antara mereka. Ini semua diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya:


Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam. Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah (agama Islam) dan janganlah kamu bercerai-berai; dan kenanglah nikmat Allah kepada kamu ketika kamu bermusuh-musuhan (semasa jahiliyah dahulu), lalu Allah menyatukan di antara hati kamu (sehingga kamu bersatu-padu dengan nikmat Islam), maka menjadilah kamu dengan nikmat Allah itu orang-orang Islam yang bersaudara. Dan kamu dahulu telah berada di tepi jurang neraka (disebabkan kekufuran kamu semasa jahiliyah) lalu Allah selamatkan kamu dari neraka itu (disebabkan nikmat Islam juga). Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat keterangan-Nya supaya kamu mendapat petunjuk hidayah-Nya. Dan hendaklah ada di antara kamu satu kumpulan yang menyeru kepada kebajikan dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik serta melarang daripada segala yang salah (buruk dan keji). Dan mereka yang bersifat demikian ialah orang-orang yang berjaya. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah bercerai-berai dan berselisihan (dalam agama mereka) sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas nyata (yang dibawa oleh Nabi-nabi Allah), Dan mereka yang bersifat demikian, akan beroleh azab seksa yang besar. (‘Ali Imran 3:102-105) (Majmu’ al-Fatawa (Dar al-Wafa’, Kaherah 2002), jld 20, ms. 291-292)


Oleh itu yang benar, semua mazhab dan para imamnya adalah baik. Orang yang mencenderungi satu mazhab, sebagaimana ulas Ibn Taimiyyah, tidak boleh mengkritik mazhab yang lain dan begitulah sebaliknya. Beliau rahimahullah menulis:


Maka sesiapa yang pada pendapatnya adalah lebih baik untuk mengikuti (Mazhab) al-Syafi‘e tidak boleh mengingkari sesiapa yang pada pendapatnya adalah lebih baik untuk mengikuti (Mazhab) Maliki dan sesiapa yang pada pendapatnya adalah lebih baik untuk mengikuti (Mazhab) Ahmad tidak boleh mengingkari sesiapa yang pada pendapatnya adalah lebih baik untuk mengikuti (Mazhab) al-Syafi‘e dan begitulah seterusnya. (Majmu’ al-Fatawa, jld 20, ms. 292-293)


Sikap taksub hanya dibolehkan dalam satu perkara, iaitu dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya.