16.1.10

Perselisihan melafazkan niat solat


Perselisihan dan perdebatan berkaitan melafazkan niat

Bila sesaorang menyatakan melafazkan niat itu bid ah, memang ada kebenarnya, tapi bukan berarti 100% tepat. Termasuk yang paling disorot justru cara menyampaikannya. Sebab cara yang demikian kurang mencerminkan kepiawaian dalam menyampaikan pesan.

bila sesaorang mengangkat tema sensitif pastilah akan menimbulkan keresahan. Sebab tema itu adalah wilayah yang seringkali menjadi pangkal perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sejak dahulu. Sebagian mendukung adanya ''ushalli'' dan sebagian menentangnya.


Sebenarnya masalah ushalli kalau kita rujuk ke hadits-hadits nabawi, memang kita tidak mendapatkan perintah eksplisit. Kita tidak pernah menerima riwayat yang shahih bahwa ketika shalat, Rasulullah sallahu alaihi wassallam tidak melafadzkan ushalli.

Sampai di sini, semua pihak pasti sependapat, baik yang mendukung ushalli dengan yang tidak.

Sepatutnya sampai di sini, kita sudah tahu jalannya, kita sepakat. tidak perlulah melafazkan niat solat, kerana solat kita semestinya mengikut solat sifat nabi. Alasan kita kerana Rasulullah tidak pernah melakukannya. Titik. Noktah. Full stop.

Namun ketika salah satu pihak melayangkan tuduhan kepada saudaranya sebagai pelaku bid''ah, maka ceritanya menjadi lain .


Sebab bukan berarti sesuatu yang tidak ada dalil eksplisitnya, lantas menjadi tidak ada. Dan kalau dikerjakan, tidak lantas menjadi bid''ah secara otomatis. Kita boleh buat perbandingan dengan masalah lainnya, seperti dalam masalah tertib urutan ibadah. Kita tidak menemukan dalam dalil eksplisit pernyataan nabi SAW bahwa kalau berwudu'' harus urut (tertib). Yang ada hanya membasuh anggota badan saja.

Namun umumnya para ulama memasukkan rukun terakhir, iaitu tertib. Baik dalam rukun wudhu'' atau pun rukun shalat. Kalau tertib itu tidak ada haditsnya, apakah tertib itu boleh dikatakan bid''ah? Tentu saja tidak. Meski pun munculnya rukun tertib itu hanya ijtihad para ulama, tapi tidak bisa dikatakan sebagai bid''ah yang dibuat-buat. Sebab kenyataannya, bila urutan wudhu tidak tertib, nyatanya juga tidak sah.

Walhasil, tertib itu meski tidak diucapkan oleh nabi sebagai bagian dari rukun shalat, namun ketika dideskripsikan aturan wudhu'', muncullah hal itu sebagai konsekuensi logis dari praktek ibadah.

Demikian juga dengan pelafazan niat ushalli. Ini hanyalah ijtihad sebagain ulama, di mana mereka mengataka bahwa niat itu akan lebih kuat di hati apabila dilafazkan. Meski tidak ada seorang pun yang mewajibkan pelafazan ushalli. Mereka hanya sekedar menganjurkan saja, tapi tidak menyunnahkan apalagi mewajibkan.

Ijtihad sebagian ulama tentang ushalli ini sebenarnya bukan tanpa bantahan. Banyak ulama lain yang tidak setuju dicantumkannya pelafazan niat dengan ushalli. Tapi yang menarik, meski tidak setuju, tetap tidak kita dengar saling ejek, atau menuduh bid''ah atau bentuk-bentuk ungkapan lainnya yang kurang enak didengar.

Selama sebuah masalah merupakan masalah ijtihad, apalagi khilaf di kalangan ulama, sebaiknya kita menahan diri dari mendeskriditkan pendapat lain.

Kita juga hendaklah mengambil tahu, kalau tak mahu ikut pun tak apa tapi sekadar menambah khazanah ilmu. Kita buat kajian dan peneliitian hujah hujah yang membolehkan nit solat itu dilafazkan.


Hujah
: Melafadzkan Niat (Sebelum Takbir) Dan Niat (Bersamaan Dengan Takbir)
- Hadits Dlo'if Dalam Pandangan Ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah


A. Hukum Dalam Shalat

- Melafazdkan Niat dengan lisan (sebelum Takbir atau sebelum shalat) adalah sunnah (tidak wajib) menurut Madzhab Syafei, Hambali dan Hanafi. Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri).
- Niat (dalam hati bersamaan dengan takiratul ula) adalah wajib.


B. Tujuan melafadzkan niat Tujuan dari talafudz binniyah menurut kitab-kitab fiqh ahlusunnah adalah :

- Liyusaa’idallisaanul qalbu (“ Agar lidah menolong hati”)
- Agar menjauhkan dari was-was
- Keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya


C. Ayat – ayat Al-qur’an Dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat sebelum takbir)

- "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf 50 : 18)

- "Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik" (QS. Faathir 35 : 10)

Maksudnya segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).


D. Hadits-Hadist Dasar Dasar Talaffudz Binniyah (Melafadzkan Niat Sebelum Takbir)

1. Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas Ra. Beliau berkata :

"Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : "Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah". (Hadith riwayat Muslim – Syarah Muslim Juz VIII, hal 216).

Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz binniyah diwaktu beliau melakukan haji dan umrah. Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Ushalli ini diqiyaskan kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.

2. Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :

"Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”. (Hadith Sahih riwayat Imam-Bukhari, Sahih BUkhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135)

عنَأ ْنَسٍَرضَيَِ لاعُنَهْق ُلاَس َمَعِتُْرسَوُلْ َلاص ِلَّلا ىعُلَيَهْو ِسَلَمّ ّيقَوُلْل ُبَيّكْع َمُرْةَو ًحَجًَّ ا
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.

3. Diriwayatkan dari aisyah ummul mukminin Rha. Beliau berkata :

"Pada suatu hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aisyah Rha. Menjawab : “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun”. Mendengar itu rasulullah Saw. Bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa". (HR. Muslim).

Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah di ketika Beliau hendak berpuasa sunnat.

4. Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata :

"Aku pernah shalat idul adha bersama Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata : "Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku" (HR Ahmad, Abu dawud dan turmudzi)

Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz binniyah diketika beliau menyembelih qurban.

E. Pendapat Imam-Imam Ahlu Sunnah (Sunni ) Mengenai Melafadzkan Niat

1. Didalam kitab Az-zarqani yang merupakan syarah dari Al-mawahib Al-laduniyyah karangan Imam Qatshalani jilid X/302 disebutkan sebagai berikut :

"Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para shahabat (Ulama syafiiyyah) bahwa sunnat melafadzkan niat (ushalli) itu. Sebagian Ulama mengqiyaskan hal tersebut kepada hadits yang tersebut dalam shahihain yakni Bukhari – Muslim.

Pertama : Diriwayatkan Muslim dari Anas Ra. Beliau berkata :

"Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : "Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah".

Kedua, Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq : "Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah "sengaja aku umrah didalam haji".

Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas."

2. Berkata Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12

"Dan disunnahkan melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz yakni menyimpang. Kesunatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji"

3. Berkata Imam ramli dalam Nihayatul Muhtaj Jilid I/437 :

عنَأ ْنَسٍَرضَيَِ لاعُنَهْق ُلاَس َمَعِتُْرسَوُلْ َلاص ِلَّلا ىعُلَيَهْو ِسَلَمّ ّيقَوُلْل ُبَيّكْع َمُرْةَو ًحَجًَّ ا
"Dan disunnatkan melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dan arena pelafadzan itu dapat menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya."

4. DR. Wahbah zuhaili dalam kitab Al-fiqhul islam I/767 :

"Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki."

Adapun menurut madzab maliki diterangkan dalam kitab yang sama jilid I/214 bahwa :

"Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan".


Kesimpulan

Bagi anda yang mahu juga melafazkan niat, pandangan saya, ingatlah melafazkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Ini kerana sebelum solat kita tidak boleh tergesa gesa terus memulainya dengan mengucap takbiratul ihram, sebelumnya ambil masa sekitar 2 minit untuk menghadirkan niat dalam hati untuk menolak penyakit was was dan menzahirkan sifat kehambaan kita... disinilah pentingnya menzahirkan niat itu.

Dalam masa yang sama anda hendaklah memahami bahawa mengikut rujukan hadits, melafazkan niat solat itu tiada di dalam peraturan solat, ianya hanya diluar peraturan solat. Mungkin lama kelamaan anda boleh meninggalkan lafaz niat itu bila mengenangkan bahawa Rasulullah tidak melafazkannya.

wallah hu alam



Rujukan :

- Al –ustadz Haji Mujiburrahman, Argumentasi Ulama syafei’yah terhadap tuduhan bid’ah, mutiara ilmu Surabaya.

- DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam, Jilid I/214

- DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam, Jilid I/767

- Imam ramli, KitabNihayatul Muhtaj, Jilid I/437

- Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12

- Imam Qatshalani, Kitab Az-zarqani, jilid X/302

- Imam bukhari, Kitab Shahih Bukhary

- Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim Abu Haidar, Alumni Ponpes Darussa'adah, Gunung Terang, Bandar Lampung

Tiada ulasan: